id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Ekspektasi dan Prospek Ekonomi Indonesia 2020

Universitas Indonesia > Berita > Ekspektasi dan Prospek Ekonomi Indonesia 2020

Beberapa lembaga dalam dan luar negeri meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2020 berada pada angka sekitar 5 persen per tahun dengan sedikit variasi di atasnya.

Tingkah laku dan siklus belanja dan investasi menjadi penting untuk menduga arah perekonomian ke depan. Pengeluaran pemerintah tetap dapat memengaruhi siklus konsumsi dan investasi, baik melalui proses multiplier, regulasi atau deregulasi, dan efek pemberitahuan arah kebijakan baru (announcement effect).

Tanpa adanya faktor kekhawatiran terhadap resesi dan perang dagang, tahun politik biasanya memberikan dampak yang minimal terhadap variabel-variabel ekonomi tersebut.

Akan tetapi, dengan kemajuan teknologi informasi seperti sekarang dalam pembentukan ekspektasi, berita-berita negatif biasanya lebih mudah diterima dan akan bertahan dalam daya ingat dalam waktu yang cukup lama.

Sementara itu, berita baik memerlukan beberapa kali verifikasi.Dengan demikian, tingkah laku dan siklus belanja dan investasi menjadi penting untuk menduga arah perekonomian ke depan.

Lingkungan Informasi

Tahun 2019 lalu merupakan tahun yang penuh tantangan. Ada empat sistem badai yang kalau bersatu berpotensi menciptakan badai yang sempurna (perfect storm) bagi Indonesia.

Pertama adalah potensi terjadinya resesi di AS yang ditandai dari munculnya kejadian lebih tingginya suku bunga jangka pendek dibandingkan dengan suku bunga jangka panjang (inverted yield curve). Kedua, perang dagang AS-China yang memperlambat pertumbuhan dunia.

Ketiga, tahun politik di Indonesia di mana kenduri besar pemilihan presiden dilakukan. Kempat, disrupsi teknologi yang berpotensi menghapuskan beberapa pekerjaan yang sifatnya manual, rutin dan pengulangan sehingga dapat digantikan oleh otomatisasi.

Hal terakhir ini membuat masyarakat semakin khawatir terhadap prospek memperoleh ketersediaan lapangan kerja di masa depan dan mempunyai dampak pada siklus belanja sehingga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Kendati demikian, dibandingkan dengan negara lain, kombinasi antara kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, jumlah penduduk yang besar dan juga sedikit keberuntungan dari arus modal masuk portofolio sebagai akibat ketidakpastian di AS dan Uni Eropa, membuat Indonesia tetap mencapai pertumbuhan sekitar 5 persen per tahun.

Lapangan kerja dan perilaku ekonomi

Pada 2019, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dipublikasikan Bank Indonesia (BI) mencapai skor tertinggi pada Mei 2019 ketika pilpres berakhir. Skor 128,2 adalah yang tertinggi sejak 2012, tahun terakhir dari bonanza komoditas.

Jika dilihat lebih ke belakang, sejak Januari 2019, nilai indeks ini semakin meningkat semakin dekat dengan pilpres di bulan April 2019. Indeks ini mulai menurun seiring dengan diajukannya sengketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi sehingga mencapai titik terendah pada Oktober 2019 dengan skor 118,4.

Sejalan dengan itu, pertumbuhan konsumsi menurun dari 5,05 persen year on year (yoy) di triwulan II-2019 menjadi 5,02 persen di triwulan III. Bulan November ekspektasi masyarakat mulai membaik dengan nilai IKK 124,2. Ini memberikan isyarat pertumbuhan konsumsi masyarakat akan membaik.

Timbul pertanyaan, apakah penurunan IKK berturut-turut sejak Mei sampai Oktober semata-mata diakibatkan oleh ekspektasi negatif yang bersumber pada informasi mengenai resesi, perang dagang dan residu Pilpres 2019 atau faktor-faktor yang lain? IKK hanyalah satu komponen saja yang digunakan untuk memantau keyakinan konsumen.

Ketakutan akan kehilangan pekerjaan (job security) menyebabkan terjadinya ekspektasi melingkar (endogenous expectation) yang turut menjelaskan mengapa informasi yang terlalu berlimpah dapat menimbulkan perubahan perilaku konsumsi yang menjadi efek beruntun menambah perlambatan pengeluaran konsumsi.

Berdasarkan kategori tingkat pendidikan, lulusan SLTA dan diploma cenderung pesimistis terhadap ketersediaan lapangan kerja hampir sepanjang 2019. Sementara lulusan sarjana lebih mempunyai pandangan yang positif terhadap ketersediaan lapangan kerja.

Dari segi kategori pengeluaran, semua kelompok usia tetap pesimistis sampai data terakhir di bulan November 2019. Kendati demikian, untuk hampir semua kategori usia atau pendidikan, masih melihat prospek ketersediaan lapangan kerja dalam enam bulan dengan optimistis.

Bahkan untuk November 2019 terjadi kenaikan optimisme yang sangat signifikan. Namun, perilaku konsumsi lebih ditentukan oleh persepsi ketersediaan lapangan kerja di saat ini dan bukan prospek ke depannya. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tak terlalu melihat ke depan (forward looking) seperti yang diharapkan untuk suatu negara berpendapatan menengah ke atas.

Akan tetapi, lebih memerhatikan berita-berita hangat saat ini, terutama dengan makin maraknya komunikasi melalui media sosial, termasuk kelompok-kelompok WhatsApp. Boleh jadi, berita-berita tentang berkeliarannya anak ular kobra di sebagian wilayah Jakarta lebih menarik daripada berita-berita damai dagang AS-China tahap pertama yang punya peluang untuk memperbaiki ketersediaan lapangan kerja di tahun 2020.

Dalam jangka panjang, hubungan antara pengeluaran konsumsi dan pendapatan (marginal propensity to consume/MPC) cenderung stabil. Namun, fluktuasi proporsi pendapatan yang dibelanjakan dalam jangka pendek sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Memutus lingkaran

Pembentukan ekspektasi di Indonesia telah berubah dari ekspektasi eksogen menjadi ekspektasi endogen, yang tak selalu kondusif untuk aspirasi tumbuh lebih dari 5 persen.

Untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi diperlukan adanya faktor eksogen yang dinamis seperti perkembangan baru di luar negeri, mengubah peraturan-peraturan yang menghambat dan saling mengunci, perubahan perilaku konsumsi/investasi, arahan kebijakan baru dari pemerintah dan perubahan teknologi.

Kalkulasi sederhana menunjukkan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3-5,4 persen per tahun, diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen per tahun.

Pemerintah dapat mengubah ekspektasi dengan memanfaatkan efek pemberitahuan yang cukup besar di Indonesia.

Kendati demikian, karena pembentukan ekspektasi masyarakat di Indonesia bersifat jangka pendek tak terlalu melihat ke depan maka momentum ekspektasi positif perlu dipelihara.

Ditulis oleh: Ari Kuncoro (Rektor Universitas Indonesia). Diterbitkan di Harian Kompas 17 Januari 2020

Related Posts

Leave a Reply