iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Empat Hari Kerja dalam Sepekan, Potensi dan Tantangannya

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Administrasi > Empat Hari Kerja dalam Sepekan, Potensi dan Tantangannya

Isu terkait keseimbangan kerja atau Work-Life Balance semakin menjadi perhatian khalayak, terutama di kalangan pegawai muda. Pasalnya, jika hal diberlakukan, maka perlu memperhatikan keseimbangan antara kehidupan kerja dengan kehidupan pribadi, agar pegawai tidak mengalami kelelahan atau stres bekerja yang justru dapat menurunkan produktivitas. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir baru-baru ini mengajukan gagasan empat hari kerja dalam sepekan di perusahaan BUMN guna menjaga kesehatan mental para pegawai.

Erick mendorong diimplementasikannya sistem Compressed Work Schedule yang memperbolehkan pegawai yang telah bekerja lebih dari 40 jam dalam sepekan, dapat mengambil jatah libur pada hari Jumat, sehingga total libur menjadi tiga hari. Menurut Dr. Eko Sakapurnama, S.Psi, MBA, CHRM, pakar strategi manajemen Sumber Daya Manusia dan pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia (UI), sistem Compressed Work Schedule memang memungkinkan para karyawan memperoleh keseimbangan kerja yang didambakan.

“Sejatinya, sistem kerja 40 jam selama empat hari, seperti terlihat dalam Compressed Work Schedule, telah menjadi wacana pascapandemi COVID-19. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan, yaitu isu Work-Life Balance, dan fakta bahwa ketika karyawan diminta bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH), produktivitas kerja relatif stabil bahkan cenderung meningkat. Penerapan sistem Compressed Work Schedule membawa beberapa manfaat, di antaranya mengurangi stres, meningkatkan employee engagement, mengurangi isu kesehatan mental yang berdampak pada produktivitas, serta meningkatkan retensi dan kepuasan kerja,” kata Dr. Eko.

Compressed Work Schedule adalah sistem jam kerja yang berjumlah antara 35 sampai 40 jam dalam seminggu, yang berlangsung dalam empat hari kerja. Terdapat beberapa skema Compressed Work Schedule, misalnya skema “4/10” yang berarti empat hari kerja dengan 10 jam kerja per harinya, atau skema “9/80”, yang berarti karyawan dituntut bekerja selama sembilan hari dalam dua pekan untuk memenuhi 80 jam kerja. Kata kunci dari sistem ini adalah “fleksibilitas”, sehingga bisa diterapkan pada industri atau jenis pekerjaan yang fleksibel dari segi jam kerja dan lokasi, misalnya jurnalis, peneliti, dosen, marketing, hospitality, atau pekerjaan administratif di kantor.

Sementara itu, skema pembayaran untuk sistem Compressed Work Schedule bisa dibuat per jam tanpa mengurangi take home pay (gaji bersih) setiap bulannya. Dr. Eko menilai pembayaran kompensasi dengan dihitung per jam ini akan menguntungkan pihak perusahaan karena jika ada karyawan yang performanya kurang baik, perusahaan dapat mengurangi jumlah jam kerja yang juga memengaruhi pendapatan per bulan. Skema ini juga dikenal sebagai “pay for performance” yang menegaskan terlaksananya mekanisme reward and punishment terhadap karyawan.

Saat ini, sudah ada 21 negara yang mencoba mengimplementasikan sistem empat hari kerja bagi perusahaan, meskipun tidak ììdiberlakukan pada seluruh sektor industri. Negara-negara tersebut di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Uni Emirat Arab, Australia, Denmark, Belgia, Jerman, dan Jepang. Dr. Eko mengatakan, “Pemerintah Jepang membuat kebijakan dalam buku tahunan kebijakan ekonomi tahun 2021 yang merekomendasikan perusahaan menerapkan sistem empat hari kerja. Hasilnya, sekarang ekonomi Jepang cukup stabil dengan indikator Indeks Nikkei yang menguat di tahun 2024.”

Tantangan utama dari penerapan sistem Compressed Worked Schedule adalah memastikan karyawan dapat menerima tuntutan kerja untuk menghasilkan jumlah yang sama dalam waktu yang lebih sedikit. Selain itu, jika budaya kerja dan komitmen kerja tidak selaras dengan sistem Compressed Work Schedule ini, produktivitas kerja justru bisa menurun.

Menurut Dr. Eko, budaya kerja masyarakat di Indonesia secara umum tidak cocok dengan Compressed Work Schedule sehingga skema tersebut tidak dapat diterapkan secara menyeluruh di Indonesia. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa inisiatif ini hanya akan berhasil jika perusahaan melakukan perancangan ulang pekerjaan atau work redesign yang substansial guna mempertahankan hasil bisnis sambil mengurangi jam kerja. Dengan demikian, perusahaan perlu mengoptimalkan operasi, mengurangi beban administratif, dan memprioritaskan pekerjaan yang berdampak tinggi.

Oleh karena itu, beberapa faktor perlu diperhatikan sebelum memutuskan untuk menerapkan sistem empat hari kerja dalam suatu perusahaan. “Ada empat kriteria yang harus diperhatikan sebelum menerapkan sistem empat hari kerja. Pertama, budaya dan komitmen kerja yang kuat. Kedua, merancang ulang sistem kerja. Ketiga, pengukuran kinerja yang terukur agar produktivitas kerja tidak menurun; dan keempat, kesiapan dan kematangan organisasi karena siklus organisasi atau perusahaan yang berbeda dapat memengaruhi hasil skema kerja ini,” kata Dr. Eko.

Related Posts