id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Joe Biden & Dampaknya Bagi Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Joe Biden & Dampaknya Bagi Indonesia

Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa (Pusat P2K2 Amerop) Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri RI menyelenggarakan seminar daring (webinar) bertajuk “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Joe Biden” dengan pembicara kunci Dr. Siswo Pramono, LL.M, Kepala BPPK Kemlu RI.

Seminar dilaksanakan dengan metode hybrid campuran daring dan luring pada Jumat (16/4) dan dihadiri 370 peserta yang berasal dari sivitas akademika UI, mahasiswa Universitas Lampung, praktisi, perwakilan Kemlu RI, maupun kalangan swasta. Seminar ini juga dapat disaksikan kembali pada kanal Youtube ”Humas SIL dan SKSG”.

Narasumber pada kegiatan ini diantaranya adalah Athor Subroto, S.E., M.M., M.Sc., Ph.D (Direktur SKSG), Dr. Ben Perkasa Drajat (Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa, BPPK –  Kemlu RI), Shinta Kamdani (Wakil Ketua KADIN), Rony M. Bishri, Ph.D. (Dosen Program Studi Kajian Wilayah Amerika – SKSG UI), Mochammad Faisal Karim, Ph.D. (Dosen Hubungan Internasional Universitas BINUS), dan Evan A. Laksmana, Ph.D (Senior Researcher, CSIS).

Athor mengatakan seminar ini adalah kegiatan yang ditunggu-tunggu terkait bagaimana transisi dan gaya leadership Joe Biden dengan kepemimpinan sebelumnya, yaitu Donald Trump. “Gaya leadership Amerika Serikat memiliki impact kepada seluruh dunia, khususnya Indonesia dalam bidang ekonomi, geopolitik, kesehatan, kebudayaan, dan tidak kalah menarik terkait dengan investasi. Harapannya impact positif di Amerika Serikat (AS), berdampak yang bagus juga untuk Indonesia. Insight dari diskusi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi sivitas akademika UI, juga masyarakat luas,” ujarnya.

Dr. Siswo Pramono menyampaikan saat ini, kebijakan politik luar negeri AS belum banyak mengambil peran dalam politik global. Hal ini disebabkan karena situasi politik dalam negeri AS yang belum kondusif, yaitu pembelahan masyarakat AS yang sudah terjadi pada masa pemerintahan sebelum Joe Biden antara lain Los Angeles Riots tahun 1992, isu black lives matters dan fobia terhadap keturunan Asia dan Islam di AS.

Dalam kaitannya dengan strategic partnership antara Indonesia dengan AS adalah bahwa pada saat ini AS memiliki keterbatasan pada konstruksi sosial. Indonesia dapat menjadi mitra wicara yang baik bagi masyarakat AS dalam mengajarkan apa itu pluralisme.

Lebih lanjut, ia menyampaikan selain isu ‘foreign policy begins at home’, yaitu pergeseran geo ekonomi global dimana AS cenderung gagap mengatasinya, hal ini terkait kebangkitan Asia yang menjadi pemantik baru. Indopasifik terpengaruh oleh kebangkitan Asia seperti American style of Indopacific, Japanese style of Indopacific, Indian, Australian, Canada, Germany, France, dan UK.

“Kebangkitan Asia itu riil, agregasinya ekonominya semakin besar, menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Oleh karena itu, yang dapat dimanfaatkan oleh AS adalah potensi kerja sama dengan negara Asia, dan Asia harus menerima dan mendorong ekonomi AS. Hubungan Indonesia dan AS dengan tetap berpegang pada politik bebas aktif Indonesia, yaitu menjadi mitra dengan AS dan 16 negara lainnya dari segi ekonomi, investasi, dan lainnya. Kebangkitan Asia menyumbang pada satu multipolarism, karena Asia negara berkembang membutuhkan negara maju,” kata Siswo mengakhiri paparannya.

Pendapat lain diutarakan oleh peneliti senior dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, Ph.D., menurutnya politik luar negeri “bebas aktif” bukan menjadi alasan Indonesia untuk ’tidak memilih’ atau ’berdiam diri’. “Indonesia berhasil mempertahankan ’pragmatic equidistance’ antara Indonesia-AS dan Indonesia-China, dimana slowly mulai bergesernya perimbangan strategi Indonesia yang saat ini lebih condong ke China, bukan karena karena pro salah satu namun bondability dan dependence Indonesia ke China jauh lebih kuat daripada ke AS,” ujar Evan.

Mewakili dunia usaha, Shinta Kamdani mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu 100 hari, kebijakan ekonomi yang dilahirkan oleh Pemerintahan Joe Biden berhasil mempengaruhi sentimen pelaku usaha global. Pada nilai tukar dan pergerakan pasar saham nasional, walaupun dampaknya tidak terasa secara langsung, memberikan dampak ekonomi sistemik terhadap daya saing dan prospek pemulihan ekonomi nasional.

Kebijakan yang paling mempengaruhi adalah America Rescue Plan Act dan kebijakan likuiditas sepanjang pandemi yang meningkatkan daya tarik pelaku usaha global terhadap iklim usaha di AS. Hal ini menyebabkan mata uang dan pasar modal negara berkembang di dunia mengalami pelemahan nilai tukar dan per 1 April 2021 sudah kembali menunjukkan penguatan.

Related Posts