iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Faktor Pemicu Munculnya Resistensi Masyarakat di AS dan Indonesia Terhadap Pemberian Vaksin Anti-Covid-19

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Faktor Pemicu Munculnya Resistensi Masyarakat di AS dan Indonesia Terhadap Pemberian Vaksin Anti-Covid-19

Media seringkali memberitakan warga negara Amerika Serikat yang menolak untuk menggunakan masker ketika berada di tempat-tempat umum. Sering juga terlihat kerumunan manusia dalam jumlah besar, namun sebagian dari mereka tanpa menggunakan masker. Ketika vaksin anti-Covid-19 mulai diberikan kepada masyarakat, sebagian warga AS pun menolak untuk divaksin, dengan alasan kebebasan individu maupun alasan agama.

Mereka berargumen, iman kepada Tuhan akan mampu melindungi dari serangan penyakit apapun. Kelompok-kelompok relijius konservatif di AS merupakan kelompok masyarakat yang memiliki resistensi paling tinggi terhadap penggunaan masker dan pemberian vaksin.

Presiden Amerika Serikat pada periode sebelumnya, Donald Trump, merupakan tokoh yang aktif menyuarakan resistensinya terhadap penerapan protokol kesehatan. Retorika yang ia sampaikan diterima dan dipercaya oleh sebagian pesar pendukungnya. Dalam penolakan-penolakan tersebut, terdapat kelindan aspek agama, budaya, dan politik.

Di Indonesia pun terdapat sejumlah warga yang menolak memakai masker. Ketika vaksin anti-Covid-19 mulai dibagikan, sejumlah warga menolak untuk divaksin dengan sejumlah alasan. Sebagian percaya bahwa vaksin yang diberikan mengandung unsur-unsur yang dianggap tidak halal, sehingga tidak layak untuk dimasukkan ke dalam tubuh manusia.

Sebagian menganggap bahwa vaksin yang diberikan adalah bagian dari konspirasi negara-negara dan perusahaan produsen vaksin yang akan memanfaatkan situasi ini demi keuntungan mereka. Sebagian juga menolak vaksin, karena sedari awal rendah kepercayaannya terhadap pemerintah dan strategi penanganan COVID-19 yang telah diterapkan oleh pemerintah. Pada intinya, terdapat berbagai alasan yang dikemukakan oleh warga Indonesia yang menolak vaksin anti-COVID-19, meliputi agama, kesehatan, ideologis, dan budaya.

Universitas Indonesia sebagai institusi yang memiliki kepekaan terhadap fenomena-fenomena sosial di tengah masyarakat Indonesia, merasa terpanggil untuk memberikan pencerahan dalam perdebatan ini. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan webinar berjudul “Gerakan Anti-Vaksin dalam Perspektif Kesehatan, Agama, dan Budaya: Studi Komparatif Amerika Serikat dan Indonesia” yang diselenggarakan secara virtual oleh Pusat Kajian Amerika, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, pada Sabtu, 12 Maret 2022. Webinar ini bertujuan membahas secara analitis, komprehensif, dan kritis faktor-faktor yang memicu munculnya resistensi masyarakat di AS dan Indonesia terhadap penggunaan masker, penerapan protokol kesehatan, dan pemberian vaksin.

Tiga pembicara dalam webinar ini adalah Prof. Dr. dr. Rachmadi Purwana, S.K.M., Guru Besar Sekolah Ilmu Lingkungan UI; Peter Suwarno, Ph.D., Associate Professor dari Arizona State University; dan Dr. Phil. Suratno, dosen dan Ketua The Lead Institute, Universitas Paramadina dan Pengurus Lakpesdam PBNU, dengan moderator Amelita Lusia, Kepala Biro Humas dan KIP, dosen Program Pendidikan Vokasi, dan alumni Kajian Wilayah Amerika.

Prof. Rachmadhi memaparkan sejarah mutasi virus yang terkait dengan COVID-19, yaitu SARS, MERS, dan virus COVID-19. Penolakan terhadap vaksinasi juga telah menjadi bagian dari sejarah manusia, selain sejarah penyebaran virus mematikan itu. Ia menekankan pentingnya herd immunity yang mampu menyebabkan matinya virus COVID-19 ketika penyebaran virus turun di bawah critical threshold.

Saat ini, menurut Prof. Rachmadhi, ada tiga hal yang mengancam umat manusia, yaitu perubahan iklim, ketimpangan sistemik (terutama di Indonesia), dan pandemi COVID-19, yang harus kita hadapi secara strategis. Ia menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, perlakuan wajar ilmu pengetahuan untuk kemanusiaan (tidak digunakan sebagai alat politik), kesatuan sosial, peran serta masyarakat dalam penanganan pandemi COVID-19, serta kepemimpinan nasional.

Peter Suwarno, Ph.D. memberikan penekanan pada peran ilmu pengetahuan dalam penanganan masalah kesehatan di Amerika Serikat, dan bukan politik atau agama. Ia  menyoroti pertentangan antara sains dan agama yang sudah berlangsung lama di AS, yang bermuara pada pertentangan antara kelompok liberal dan kelompok konservatif. Pendukung gerakan anti-vaksin pada umumnya termasuk ke dalam kelompok konservatif. Semakin fundamentalis seseorang, semakin gigih penolakannya terhadap penerapan protokol kesehatan dan vaksinasi.

Uniknya, tidak ada pembenaran teologis sama sekali dalam hal penolakan vaksin, dan justru di AS orang-orang yang dikenal sebagai pemuka agama justru seringkali menjadi korban dari virus COVID-19. Fakta menarik yang ia ungkapkan adalah bahwa dalam konteks Indonesia, relijiusitas masyarakat ada pada angka 96%, namun penolakan terhadap sains justru sangat minim. Hal ini adalah sesuatu yang patut disyukuri dari situasi di Indonesia.

Dr. Phil. Suratno mengemukakan bahwa dalam sejarah Indonesia, penolakan vaksin sudah berlangsung semenjak era kolonial, era Orde Lama, era Orde Baru, dan berlanjut pada Era Reformasi. Ia menyoroti strategi yang telah diterapkan di Indonesia dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai perlunya vaksinasi, yaitu dengan pembeberan fakta-fakta ilmiah, pernyataan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendukung pemberian vaksinasi oleh Pemerintah, serta pemberian vaksinasi terhadap tokoh publik yang dipublikasikan secara luas.

Ia menekankan bahwa dalam Islam imunisasi dan vaksinasi hukumnya pada dasarnya adalah boleh atau diijinkan (mubah), dan bila ada sebagian masyarakat yang mempercayai bahwa iman percaya mereka akan mampu menyembuhkan penyakit fisik, ini adalah bagian dari imajinasi spiritual yang tidak memiliki pembenaran.

Related Posts