id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Farmakoekonomi dan Kesiapan Menyambut Program Jaminan Kesehatan Nasional 2014

Universitas Indonesia > Berita > Farmakoekonomi dan Kesiapan Menyambut Program Jaminan Kesehatan Nasional 2014

Pada hari Rabu (11/09) Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat (FKM ) UI mengadakan Pelatihan Pengantar Farmakoekonomi untuk ketiga kalinya dalam tahun ini. Untuk penyelenggaraan tahun ini, pelatihan ini mengambil tempat di Perpustakaan Pusat Lantai 7, Kampus UI Depok selama 3 hari sampai tanggal 13 September. Kursus singkat ini ini akan diberikan oleh pengajar-pengajar ahli dari FKM UI yang telah banyak bergelut dengan ilmu ekonomi kesehatan, asuransi kesehatan, dan tentunya ilmu farmakoekonomi itu sendiri. Menurut Direktur Program Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) FKM UI , dr. Yunita Nugrahani, acara ini adalah salah satu upaya UI untuk memperkenalkan apa itu farmakoekonomi ke para pelaku industri kesehatan. “Terutama melihat momentum pelaksanaan JKN yang akan dilaksanakan secara nasional pada 1 Januari 2004 nanti, memahami farmakoekonomi menjadi suatu agenda penting bagi para pelaku industri kesehatan kita,” tuturnya.

Memahami JKN
Untuk memahami apa itu farmakoekonomi, terlebih dahulu kita harus memahami apa itu JKN. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS dan dilaksanakan secara nasional mulai dari Januari 2014. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sendiri adalah badan hukum publik yang bertugas menyelenggarakan program-program sosial dari pemerintah. Target dari program ini adalah seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan yang memadai pada tahun 2019 nanti. Jaminan kesehatan yang diberikan pada program JKN ini bukan hanya pada saat memiliki penyakit kronis seperti jantung atau kanker namun juga termasuk di dalamnya usaha-usaha pencegahan, seperti imunisasi dan pemeriksaan kesehatan. Selain itu pelayanan jaminan kesehatan ini dapat diterima diberbagai rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta apabila telah menandatangani kontrak. Dengan adanya program ini diharapkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan nantinya akan merata terhadap setiap orang tidak bergantung pada besarnya iuran, sehingga rakyat miskin tidak perlu khawatir mendapat perlakuan berbeda.

Untuk mempersiapkan program JKN ini, maka pada tanggal 1 Januari 2014, ASKES akan berganti nama menjadi BPJS. Peserta JKN ini nantinya akan dibagi dalam 2 kelompok, yakni yang menjadi Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) dan yang Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (non PBI). Penerima Bantuan Iuran adalah peserta yang tidak mampu atau mengalami cacat total tetap dan miskin. Nantinya untuk kelas perawatan pada rawat inap akan dibedakan antara peserta yang PBI dan non PBI. Pembiayaan pada sistem JKN ini menggunakan prinsip Indonesia Case Base Group (INA-CBG’s) atau berdasarkan grup penyakit. Contohnya penyakit amandel. Pembiayaannya bukan berdasarkan biaya perawatan dan operasi. Namun, hitungannya ditotal. Sehingga pelayanan pada pasien pun sesuai standar.

Dilihat dari penjabaran diatas, penerapan JKN secara nasional ini menuntut fasilitas kesehatan, perusahaan farmasi, dan praktisi kesehatan agar lebih siap. ” Dengan sistem pembayaran yang seperti itu, fasilitas kesehatan dituntut untuk terus menerus memantau efisiensi dalam pelayanan terutama dalam hal pemilihan obat-obatan. Fasilitas kesehatan harus mampu memilih obat obatan mana yang paling cost effective, bukan hanya yang paling murah. Perusahaan farmasi sebagai pihak yang melayani kebutuhan obat-obatan harus dapat menawarkan obat yang cost effective juga. Selain itu, praktisi kesehatan diharapkan dapat memiliki keterampilan dalam analisis ekonomi terkait dalam pemilihan obat-obatan” tutur Yunita. Salah satu cara untuk mencapai kesiapan-kesiapan tersebut adalah dengan menguasai ilmu farmakoekonomi.

Lalu Apa Itu Farmakoekonomi?
Farmakoekonomi adalah sistem perhitungan antara biaya yang dikeluarkan dan dampaknya pada penyembuhan dalam pengambilan keputusan tentang pengembangan obat dan strategi harga obat. Farmakoekonomi mengkaji dan menganalisa pengobatan mana yang paling efektif tapi harganya seminimal mungkin, namun memberikan outcome klinis dengan baik (ada unsur pertimbangan kualitas hidup pasien) . Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas IndonesiaHasbullah Thabrany, selama ini dalam bidang farmasi obat, dokter dan apoteker tidak peduli soal harga obat yang mahal atau murah. Akibatnya, sering kali pasien, terutama masyarakat kecil, tidak bisa berobat karena tidak mampu membeli obat yang mereka butuhkan karena harganya mahal. “Dengan adanya farmakoekonomi, dokter bersama apoteker bisa menilai dari sekian banyak jenis, obat yang terjangkau untuk pasien, tetapi tetap efektif menyembuhkan. Apalagi dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, prinsip farmakoekonomi bisa diterapkan,” tuturnya.
Dengan penerapan aturan tersebut, Hasbullah berharap tidak ada lagi jasa medis di antara dokter atau apoteker, baik dalam pembayaran pengobatan maupun penebusan obat yang selama ini dinilai membuat masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Sistem farmakoekonomi ini bisa diterapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai regulator, sementara pelaksanaannya oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai perpres. “Nantinya, BPJS yang bertugas melakukan pembayaran pada obat tertentu yang dianjurkan Kemenkes,” ujarnya.

Informasi dan data yang diperoleh ketika menerapkan farmakoekonomi ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan obat. Untuk para praktisi akan sangat membantu dalam memilihkan terapi obat yang efektif, bagi perusahaan asuransi akan sangat membantu dalam menentukan mana-mana obat yang perlu dilist untuk dimasukan ke daftar obat-obat yang mau mereka tanggung. Industri obat sendiri dapat melihat apakah obat yang dijual memang telah memenuhi standar life saving namun juga cost saving dan yang terpenting bagi pasien, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya yang begitu banyak untuk obat yang mereka butuhkan. Singkat kata, kajian farmakoekonomi itu sangat bermanfaat bagi penerapan JKN di 2014 nanti.(WND)

Related Posts

Leave a Reply