id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Memahami Penganggur Muda dan Masalah yang Melingkupinya

Universitas Indonesia > Berita > Memahami Penganggur Muda dan Masalah yang Melingkupinya

Data BPS tahun 2016 mencatat bahwa terdapat 7,03 juta orang menganggur di Indonesia, dan yang terbanyak adalah penganggur usia 15—29 tahun atau dikategorikan dalam usia muda.

Masalah Pada Sisi Permintaan

Terciptanya pengangguran, utamanya terletak dari gap antara sisi permintaan dan penawaran. Sebesar apa pun keinginan orang untuk bekerja, kalau tidak ada yang butuh jasanya, orang tersebut tak akan bisa bekerja.

Dari sisi permintaan, pemuda banyak yang menganggur disebabkan rendahnya minat para pengusaha untuk mempekerjakan mereka karena anggapan bahwa para pencari kerja usia muda ini kurang berpengalaman.

Data BPS tahun 2014 juga menunjukkan, 70 % dari penganggur muda belum pernah bekerja sebelumnya. Sebagai perbandingan, untuk penganggur usia lain (bukan pemuda), hanya 32% yang tidak punya pengalaman bekerja sebelumnya.

Padahal, pengalaman tersebut banyak dijadikan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi pelamar kerja. Hasil studi Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika pada 2014 menunjukkan, 83% lowongan kerja yang dipublikasikan di media massa mensyaratkan pelamar memiliki pengalaman kerja.

Jelas tidak banyak pencari kerja muda yang memenuhi persyaratan ini. Kebijakan upah minimum juga berperan pada rendahnya permintaan terhadap angkatan kerja usia muda. Di mata pengusaha, mayoritas lulusan sekolah di jenjang apa pun secara umum dianggap tidak siap bekerja.

Selalu diperlukan pelatihan untuk membuat mereka benar-benar bisa bekerja dan itu bukan tidak ada biayanya. Dalam kondisi demikian, merekrut angkatan kerja yang baru lulus (fresh graduate) merupakan langkah yang mahal.

Akibatnya, angkatan kerja usia muda dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama pahit: bekerja apa saja dengan upah berapa saja atau jadi penganggur.

Tekanan untuk Bekerja Bagi Usia Muda

Sumber masalah lain juga ada di sisi penawaran atau tenaga kerja itu sendiri. Mayoritas pemuda tidak aktif di pasar kerja.

Secara keseluruhan, dari 43,5 juta penduduk usia 15-24 tahun pada 2014, hanya 20,1 juta orang yang aktif di pasar kerja. Dalam istilah teknis, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) untuk pemuda 46%. Angka tersebut jauh di bawah TPAK kelompok usia lain yang mencapai 73%.

Salah satu penyebab tingginya angka pengangguran penduduk usia muda adalah pemuda mendapatkan tekanan untuk bekerja yang lebih rendah daripada kelompok umur yang lebih tua.

Pengaruh sisi penawaran juga terlihat jika dilakukan perbandingan angka pengangguran pemuda menurut jenjang pendidikan. Angka pengangguran pemuda berpendidikan menengah atau tinggi sekitar 17%, hampir dua kali lipat daripada angka untuk yang berpendidikan rendah (9%).

Hal itu terjadi karena semakin tinggi pendidikan, orang semakin memilih-milih pekerjaan. Sebelum benar-benar memeroleh pekerjaan yang cocok, orang berpendidikan relatif tinggi lebih memilih jadi penganggur.

Solusi

Dari sisi penawaran, prioritas langkah justru pada upaya mendorong pemuda untuk bertahan di sekolah. Terjun ke pasar kerja hendaknya tidak menjadi prioritas utama karena dalam jangka panjang rendahnya pendidikan akan berimplikasi pada kesejahteraan mereka.

Bagi mereka yang memang tak punya pilihan lain selain terjun ke pasar kerja, angkatan kerja muda perlu didorong untuk mau bekerja apa saja tanpa terlalu berharap pada pekerjaan yang mapan. Pada tahap ini, yang terpenting memperoleh pengalaman kerja yang dapat digunakan sebagai bekal untuk memperoleh pekerjaan lebih baik.

Mendorong angkatan kerja muda menjadi wirausaha bukan tak boleh, tetapi tak realistis. Meski kadang terlihat mudah, sebenarnya tak benar-benar mudah jadi pengusaha. Jangan lupa, kualifikasi untuk menjadi pengusaha sebenarnya lebih tinggi daripada menjadi pekerja.

Untuk menjawab persoalan yang bersumber pada sisi permintaan, khususnya ketidakpercayaan pada kesiapan bekerja para pemuda, kualitas pendidikan perlu terus ditingkatkan dengan menambahkan aspek kecakapan hidup di semua jenjang dan jenis pendidikan.

Kerja sama antara sekolah dan berbagai instansi serta dunia usaha juga perlu didorong dalam bentuk magang. Kebijakan upah juga perlu diperbaiki agar lebih “ramah” bagi angkatan kerja usia muda.

Perlu dipertimbangkan langkah mengecualikan pekerja muda tanpa pengalaman dari kebijakan upah minimum. Langkah itu dimaksudkan sebagai kompensasi biaya pelatihan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membuat mereka siap bekerja.

Disadur dari:
Edy Priyono (Peneliti pada Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika dan Dosen FEB UI), Penganggur Muda dan Solusinya, yang dimuat di Kompas, 22 Oktober 2015

Related Posts

Leave a Reply