id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Mengevaluasi Implementasi Konvensi Hak-hak Anak di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Mengevaluasi Implementasi Konvensi Hak-hak Anak di Indonesia

Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) oleh Indonesia pada tahun 1990 silam membawa harapan bahwa perjanjian hukum internasional ini akan menjadi wujud nyata atas upaya perlindungan terhadap anak, agar anak-anak di Indonesia memiliki kehidupan yang lebih baik. Perjalanan 20 tahun implementasi KHA mengalami dinamika yang banyak dipengaruhi oleh konteks sosial politik.

Dr. Harla Sara Octara, Doctor of Philosophy in Social Policy dari University of Edinburgh, menjelaskan dinamika sosial politik tersebut ke dalam tiga fase yang membagi garis waktu implementasi kebijakan KHA selama 1990-sekarang, yakni fase reservation (1990-1998), fase recognition (1998-2004), dan fase commitment (2004-sekarang). Penjelasan tersebut Ia sampaikan dalam acara Seminar Learning Series yang diselenggarakan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA) FISIP UI, pada Rabu (09/05/2018).

Analisis implementasi KHA yang dipaparkan Dr. Harla dalam tiga fase tersebut menggunakan pendekatan Top-Down, Bottom-Up, dan Reinvention. Pada fase reservation, tidak ada upaya dari pemerintah orde baru untuk menyeleraskan aturan umum di Indonesia yang sudah ada dengan KHA, sehingga pada fase ini dinilai tidak ada implementasi dari KHA.

Pada fase berikutnya, yakni recognition, Dr. Harla menggunakan analisa bottom-up dengan fokus pada perspektif dan pengalaman organisasi/individu yang mengimplementasikan kebijakan. Dalam fase ini ditemukan bahwa cara Indonesia mengimplementasikan KHA dalam masa ini sangat dipengaruhi oleh konteks sosial politik, banyak kebijakan yang lahir karena konteks tersebut, salah satunya yakni diakuinya hak-hak anak dalam amandemen UUD’45 dan diakuinya UUPA.

Menariknya, pada fase Commitment, ia justru menggunakan pendekatan top-down yang fokus pada disain dan instruksi kebijakan/konvensi dari pembuat kebijakan. Tahun 2005 Indonesia menarik reservasi terhadap pasal 2 KHA; UUPA sebagai referensi bagi perangkat hukum dan kebijakan nasional lain, seperti Kabupaten/Kota Layak Anak dan Program Kesejahteraan Sosial Anak.

Ia menilai pendekatan reinvention lebih cocok untuk Indonesia. Pendekatan ini memungkinkan akuntabilitas dalam segi publik, karena upaya implementasi KHA oleh pemerintah daerah akan lebih mudah dievalusi oleh NGO apabila berbentuk kebijakan publik daerah tersebut dibandingkan apabila hanya menjadi kebijakan dari pemerintah pusat.

Analisis implementasi KHA ini dilakukan sebagai monitoring implementasi dalam mekanisme pelaporan ke Komite Hak-Hak Anak PBB. Ia menyarankan untuk laporan periodik Indonesia selanjutnya yang jadwalnya akan diluncurkan pada tahun 2019 mendatang, harus dijelaskan pula dampak desentralisasi terhadap kebijakan publik untuk anak, karena otonomi daerah merupakan peluang untuk reinvention.

Sumber : Humas FISIP UI

Related Posts

Leave a Reply