id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Pentingnya Menjaga Hutan melalui Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan untuk Memerangi Pandemik dan Perubahan Iklim

Universitas Indonesia > Berita > Pentingnya Menjaga Hutan melalui Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan untuk Memerangi Pandemik dan Perubahan Iklim

The Collaborative Australia-Indonesia Programs on Sustainable Development and Climate Change (CAIPSDCC), sebuah kolaborasi antara Universitas Indonesia dan Griffith University, Australia menggelar Webinar Internasional bertajuk “Perspektif Global terhadap Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan di Era COVID-19?” pada Kamis (11/6) yang disaksikan lebih dari 300 peserta. Ini merupakan webinar keempat dalam seri webinar CAIPSDCC dengan topik besar Kesehatan Planet dan Kesehatan Manusia untuk Melawan Pandemik Global.

Narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Jatna Supriatna, Direktur Institute of Sustainable Earth & Resources (I-SER) UI; Prof. Brendan Mackey, Direktur Griffith Climate Change Response Program, Australia; dan Fitrian Ardiansyah, Chairman of Executive Board Inisiatif Dagang Hijau. Webinar ini dipimpin oleh Maggie Muurmans, peneliti dari Griffith University dan dibuka oleh Wakil Rektor UI Bidang Riset dan Inovasi Prof. Dr.rer.nat. Abdul Haris, M.Sc.

Dalam pidato pembukanya, Prof. Abdul Haris menyampaikan, “Dalam masa pandemik dan krisis, ilmuwan dan institusi pendidikan memegang peran kunci dalam memberi pencerahan pada masyarakat dan pembuat kebijakan akan apa yang sebenarnya terjadi melalui proses saintifik. Misalnya, sejak COVID-19 muncul, UI terus berusaha menjadi mesin pengetahuan dan inovasi melalui 100 pusat studinya.”

Prof. Haris juga menyampaikan harapannya agar kita semua dapat belajar dari pandemik, mendengarkan apa kata ilmuwan, meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak di berbagai tingkat, untuk mengambil tindakan tegas dalam perang melawan pandemik dan perang melawan krisis iklim.

Kemudian, Prof. Jatna menuturkan, “Kita perlu memahami keterkaitan antara pandemik COVID-19 dan dinamika lanskap khususnya di daerah yang terdegradasi dan terdeforestasi. Kita juga perlu mengatasi risiko yang berasal dari hubungan antara hewan-manusia-ekosistem.”

 

Prof. Jatna melanjutkan, “Mencegah deforestasi dapat membantu mencegah pandemik di masa depan. Deforestasi serta proyek infrastruktur lainnya tentunya akan mengancam keutuhan ekosistem dan meningkatkan risiko pandemik di masa depan. Belum lagi dampaknya terhadap perubahan iklim”.

Prof. Jatna berpendapat ada beberapa langkah yang perlu diambil yaitu: rehabilitasi lahan hutan terdegradasi; larangan perdagangan dan perburuan satwa liar dan hewan peliharaan liar; melindungi satwa liar yang penting di habitat alami mereka; mendukung penelitian satwa liar dan penyakit zoonosis, meningkatkan penelitian untuk bahan obat dari hutan; mengadopsi paradigma “Satu-Kesehatan” atau “One-Health” yang mengakui bahwa kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem saling terkait; mendukung Kebijakan Satu Peta Pemerintah Indonesia.

Prof. Brendan mengutarakan, “Dengan melindungi hutan primer dan memulihkan hutan yang terdegradasi, akan mengatasi masalah deforestasi dan degradasi ekosistem, sehingga mencegah penyebaran patogen dari satwa liar ke hewan peliharaan dan manusia, yang menyebabkan epidemi dan pandemik yang signifikan di seluruh dunia”.

Prof. Brendan melanjutkan bahwa tidak semua hutan sama. Hutan primer memiliki nilai paling tinggi dalam hal keanekaragaman hayati dan jasa alam lainnya. Melindungi hutan primer sangat penting untuk menghindari pandemik, serta memenuhi komitmen nasional terkait konservasi keanekaragaman hayati, pencapaian Persetujuan Paris, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Hutan primer berperan mengkarantina patogen sehingga tidak menyebar ke habitat manusia dan juga merupakan rumah bagi Masyarakat Adat, serta sumber mata pencaharian bagi masyarakat lokal. Hutan primer juga mengandung cadangan karbon melimpah, menyediakan air terbersih, mengatur iklim regional, dan menjadi habitat satwa liar.

Deforestasi dan degradasi lingkungan banyak dikaitkan dengan munculnya penyakit menular. Penebangan komersial, penambangan, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur menyebabkan terbukanya hutan primer untuk perburuan satwa liar dan secara dramatis meningkatkan kontak dengan inang dan paparan manusia terhadap patogen potensial. Efek tepi hutan (forest-edge effect) mendorong kontak antar spesies lebih luas.

Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang berkomitmen menjaga hutan primer, namun perlu diwujudkan dengan kerja keras. Salah satunya adalah dengan reformasi kebijakan nasional seperti aturan akuntansi lingkungan-ekonomi sehingga manfaat ekosistem diakui dan pemangku kepentingan diberi insentif untuk menghindari emisi karbon.

Fitrian menambahkan dari segi ekonomi berkelanjutan bahwa, “Pengelolaan lanskap berkelanjutan dapat dicapai jika investasi dan model bisnis yang tepat dapat diterapkan. Model seperti itu perlu memastikan hasil di tiga bidang: meningkatkan produksi ekonomi atau komoditas berbasis lahan, memperkuat perlindungan hutan dan lahan gambut, dan melibatkan penduduk desa dan petani kecil. Kami telah menguji model ini dengan pemerintah daerah, perusahaan-perusahaan dalam rantai pasokan dan lembaga keuangan.” Fitrian juga menambahkan, “Pemerintah Indonesia dan negara lain, harus bertanya, pembangunan ekonomi seperti apa yang kita perlukan? Kita tidak bisa lagi kembali ke paradigma pembangunan seperti sebelum pandemik COVID-19. Kita harus mengubah paradigma agar pembangunan dilakukan secara berkelanjutan dan rendah karbon.”

Related Posts

Leave a Reply