id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Rektor UI: Memahami Fitrah Usaha Rintisan (Start-up)

Universitas Indonesia > Berita > Rektor UI: Memahami Fitrah Usaha Rintisan (Start-up)

Usaha rintisan atau start-up sudah ada kurang lebih 10 tahun di Indonesia. Ada yang berhasil, akan tetapi lebih banyak lagi yang gagal.

Masuk dan keluar suatu unit usaha ke dalam industri adalah hal yang lumrah, sebagai bagian dari proses yang oleh Schumpeter (1942) disebut sebagai creative destruction.

Unit-unit usaha baru akan membawa ide, teknologi, dan manajemen yang baru sehingga industri mengalami revitalisasi agar tidak lapuk ditelan zaman.

Usaha rintisan yang sering dikaitkan dengan industri 4.0 sebenarnya pengulangan dari penemuan mesin uap pada 1750 (industri 1.0) dan penggunaan teknologi untuk industri mulai 1870 (Industri 2.0) yang berujung pada produksi massal menggunakan assembly line ala Henry Ford, yang semula merupakan start up untuk mobil.

Tingkat Keberhasilan

Yang sering dilupakan, di balik setiap keberhasilan usaha rintisan, ada puluhan bahkan ratusan lain yang gagal.

Hal ini adalah fenomena hukum bilangan besar (Law of Large Number), yakni untuk menghasilkan segelintir yang sukses diperlukan sejumlah pemain lain yang menjadi inkubator.

Kondisi ini sangat mirip dengan kasus persepakbolaan, yaitu untuk menghasilkan satu Lionel Messi dari kesebelasan Barcelona, diperlukan 99 pemain lain sebagai mitra latih/tanding untuk membentuknya sebagai mahabintang.

Tingkat keberhasilan usaha rintisan berbeda antara satu negara dengan negara lain, berkisar 5-10 persen. Namun, peluang untuk berkembang menjadi unicorn, bahkan decacorn, seperti Google, Facebook, Alibaba, hingga Grab dan Gojek, membuat ada saja pemodal yang bersedia “membakar uang” sampai batas-batas tertentu.

Peluang kegagalan usaha rintisan yang semakin meningkat pada saat perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia seperti saat ini akan mengurangi keinginan investor untuk memberikan modal.

Di Indonesia, diperkirakan ada 150 juta pengguna internet. Namun, potensi pasar saja tidak cukup untuk menjamin keberhasilan. Ada beberapa faktor di balik kegagalan 95 persen dari usaha rintisan. Ada beberapa karakter yang diperlukan pendiri (founder) untuk dapat berhasil.

Yang terpenting, tidak pernah bosan (passion) dan komitmen. Kedua, kemauan untuk menyesuaikan diri, akan tetapi bukan berarti selalu berubah-ubah. Faktor-faktor lain adalah kesabaran dan keuletan, bersedia mengamati, mendengar dan belajar, membina hubungan kementoran dengan pihak yang tepat, serta prinsip usaha rintisan yang ramping dan mengumpulkan dana sesuai kebutuhan tidak berlebih-lebihan.

Terakhir, keseimbangan antara pengetahuan teknis dan bisnis dengan keahlian teknis yang memadai dalam pengembangan produk.

Faktor Resiko Kegagalan Usaha Rintisan

Faktor-faktor penting lain lebih berhubungan dengan pasar dan sifat bisnis. Yang paling sering terjadi, kegagalan mengenali pasar dan menghasilkan produk yang tidak diminati atau menjadi prioritas masyarakat.

Kedua, kehabisan dana karena investor mundur akibat tidak kunjung menghasilkan kinerja yang baik dan prospek yang tidak menjanjikan.

Faktor-faktor lain adalah tidak mempunyai tim yang bagus, kalah kompetisi, harga dan biaya yang tidak sesuai dengan segmen pasar, kualitas produk yang buruk, tidak mempunyai model bisnis yang jelas, serta tidak mempunyai pemasaran yang baik dan tidak memperdulikan pelanggan.

Yang paling penting dari dampak menjamurnya usaha rintisan ini adalah unsur disrupsi sebagai inspirasi bagi pemain-pemain lama untuk mengubah diri.

Perusahaan taksi, misalnya, berpeluang bekerja sama untuk meminimalisasi pemakaian bahan bakar untuk berburu penumpang dan waktu kosong. Industri tekstil dan garmen juga menemukan vitalitasnya kembali dengan mengunakan pasar daring untuk memasarkan dan menjual produk, memengaruhi tren mode, baik secara daring maupun luar jaringan melalui ekspos pasar, termasuk mengakuisisi rumah-rumah mode.

Sumber : Harian Kompas, 21 Januari 2020.

Related Posts

Leave a Reply