id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Sejarah Korupsi di Indonesia dan Konstruksi Oligarki

Universitas Indonesia > Berita > Sejarah Korupsi di Indonesia dan Konstruksi Oligarki
Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia bekerja sama dengan Penerbit Komunitas Bambu menyelenggarakan diskusi dan bedah buku “Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi” karya Peter Carey yang juga hadir sebagai pembicara.
Bertempat di Ruang Apung Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, pada Rabu (02/10/2019), diskusi juga dihadiri oleh Haris Azhar selaku Direktur Eksekutif Lokataru Foundation dan dimoderatori oleh Editor Komunitas Bambu, Rahmat E. Sutanto.Diskusi dibuka oleh Kepala UPT Perpustakaan UI, Fuad Gani, S.S., M.A. Ia mempromosikan acara-acara di Perpustakaan UI yang akan datang dan menutup sambutannya dengan menyinggung korupsi. “Korupsi; semua orang mencela, tetapi semua orang melakukannya,” ujar beliau mengutip pernyataan Anthony Giddens.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan isi buku oleh Peter Carey. Peter menceritakan korupsi yang terjadi pada saat masa kepemimpinan Pangeran Diponegoro.

“Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1925 – 1930 itu sebenarnya terjadi karena korupsi. Selama hampir 200 tahun sejak Pangeran Diponegoro menampar patih karena korupsi penyewaan tanah, isu korupsi masih saja terus ada dan belum ada solusi,” jelasnya.

Haris Azhar melanjutkan diskusi dengan membahas oligarki yang berperan sangat penting dalam produk hukum. Ia berujar, “Jangan fokus hanya kepada angka korupsi yang fantastis, tapi coba lihat praktik-praktik bisnis yang mengontrol para pembuat kebijakan.”

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini beropini bahwa oligarki mengkonsepsikan hukum yang dapat menguntungkan mereka agar terdapat celah dalam produk hukum untuk bisa dikorupsi.

Partisipasi yang bisa dilakukan olah masyarakat agar korupsi bisa diminimalisir menurut Haris adalah ikut mengontrol hukum yang berjalan.

“Partisipasi masyarakat bukan hanya 5 tahun sekali saat pemilu, tapi 24 jam secara terus menerus. Konsolidasi yang sering diadakan di dalam kampus, harus mulai dibawa ke luar agar masyarakat luas juga bisa tahu apa yang didiskusikan,” pungkasnya.

 

Related Posts

Leave a Reply