iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Semarak Setengah Abad Prisma: Ekonomi Politik Digital & Tantangannya di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Semarak Setengah Abad Prisma: Ekonomi Politik Digital & Tantangannya di Indonesia

Penulis: Humairah Nur

Dalam rangka peluncuran Jurnal Prisma edisi ke-40, Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dan Jurnal Prisma menyelenggarakan webinar bertajuk “Ekonomi Politik Digital di Indonesia” pada hari Rabu (8/12). Acara diselenggarakan secara daring melalui zoom dan siaran langsung di Kanal YouTube FISIP UI. Pada kesempatan ini, webinar membahas dua isu utama, yaitu ekonomi politik digital di Indonesia, dan peluang dan tantangan dari digitalisasi ekonomi-politik di Indonesia.

Jurnal Prisma sendiri merupakan bacaan populer yang berisi pemikiran-pemikiran alternatif, ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar tentang masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Drs. Julian Aldrin Pasha, M.A., Ph.D. selaku ketua depatermen Ilmu Politik UI menyatakan dalam sambutannya bahwa Jurnal Prisma merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa, terutama yang tertarik pada bidang ilmu politik. “Majalah Prisma ini merupakan suatu yang menarik karena substansinya penuh keilmuan, melibatkan berbagai perspektif teoritis tapi tetap dinarasikan dengan gaya bahasa yang khas, yang tidak terperangkap dengan gaya bahasa yang kaku dan membosankan,” ujarnya.

Pada edisi yang bertepatan dengan perayaan setengah abad Prisma, Jurnal ini mengangkat tema “Globalisasi Digital: Tantangan Ekonomi Politik Indonesia.” Tema ini dianggap relevan dengan isu global saat ini. Saat ini kita tengah berada dalam maraknya proses digitalisasi. Proses ini terjadi di berbagai bidang, terutama dalam bidang ekonomi-sosial-politik.

Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, S.H., M.Si., selaku Staf Ahli Bidang Hukum Kemkominfo RI memaparkan bahwa teknologi digital itu mengubah cara dan struktur ekonomi dan politik di suatu negara. Perubahan ini berlangsung cepat dan banyak karena teknologi digital memungkinkan kita, manusia dari berbagai belahan dunia, untuk terhubung oleh teknologi seperti internet. Di Indonesia sendiri, per Januari 2021 sekitar 73,7% penduduk Indonesia adalah pengguna internet. Ketika manusia terhubung oleh teknologi, maka secara sosial, politik, dan ekonomi, manusia akan saling terhubung. “Ini memunculkan banyak sekali konsekuensi-konsekuensi termasuk politik,” ujar Henri.

Hal senada diungkapkan oleh Drs. Andrinof A. Chaniago, M.Si (Dosen Departemen Ilmu Politik UI) selaku narasumber kedua. Ia beragumen bahwa tidak dapat dipungkiri teknologi digital memiliki banyak manfaat terhadap kehidupan manusia. Teknologi digital dapat menciptakan efisiensi, bahkan menciptakan peluang untuk belajar secara daring. Melalui teknologi, dunia dapat dicapai dalam satu genggaman. Akan tetapi, pemanfaatan teknologi ini harus diiringi dengan kesadaran terkait isu yang menyertainya. “Banyak sekali perubahan yang terjadi, masalahnya adalah bagaimana kita menghadapi perubahan ini, terutama dari sudut pengaturan-pengaturan sosial, ekonomi, dan juga politik,” ujar Andrinof.

Lebih lanjut, ini juga sejalan dengan Tessa Boumans, selaku peliti dari CNV International yang menekankan bahwa teknologi tidak spenuhnya baik atau buruk. Teknologi bergantung pada cara pengembangannya yang mengikuti sistem dominan. Pada penelitiannya mengenai pengaruh proses digitalisasi terhadap pekerja garmen yang memiliki gaji rendah, teknologi mendorong adanya fast fashion. Fast fashion merupakan model bisnis yang memproduksi pakaian secara massal dengan biaya rendah. Teknologi digital memungkinkan efisiensi produksi serta pemenuhan pemintaan pasar. Di sisi lain, hal ini seringkali eksploitatif pada pekerja karena untung yang dihasilkan dari garmen biasanya sedikit.

Salah satu permasalahan ekonomi digital terkait dengan privasi data. Dalam dunia digital, setiap aktivitas warga selalu terkait dengan data pribadi mereka.  Beberapa data privat bahkan dapat menjadi publik. Data biasanya digunakan perusahaan digital/aplikasi untuk kekuatan ekonomi politik. Semakin banyak data yang dikumpulkan dari warga akan menguatkan posisi kapitalis. Dalam dunia digital, pengguna diawasi oleh sistem yang mengumpulkan data tersebut. Fenomena ini disebut dengan surveillance capitalism atau kapitalisme pengawasan. Irendra Radjawali, Ph.D. (Swandiri Institute) sebagai narasumber ketiga berpendapat bahwa pada fenomena ini terdapat tiga lapisan yang menjadikannya maju, yaitu 1) apa yang dibagikan; 2) apa yang dikatakan dari perilaku pengguna; 3) apa yang dikatakan oleh sistem teknologi terkait perilaku tersebut.

 

Irendra selanjutnya memaparkan permalahan lainnya, yaitu ketimpangan yang dibahwa oleh digital. Menurutnya, dibalik digital terdapat analog yang merupakan acuan dari digital. “Kalau analognya salah, digitalnya nggak bener,” kata Irendra. Hal ini memungkinkan terdapat bias-bias dan opresi yang dihasilkan oleh algoritma. Singkatnya, terdapat relasi kuasa yang diciptakan oleh teknologi digital. Terlebih, saat ini kita hidup dalam infodemik, yaitu keadaan dimana berita yang tidak tepat menyebar enam kali lebih cepat dan meraih lebih banyak orang dibanding berita yang akurat.

Proses digitalisasi merupakan proses perubahan sosial yang masif, cepat dan multidimensional. Keberlangsungan proses ini harus diiringi dengan kesadaran dari penggunanya. Dikarenakan hal ini bersifat multidimensi, perlu kerjasama dari berbagai bidang. Pengguna harus sadar dan memahami literasi digital. Sementara itu, pemerintah sebagai pihak yang berwenang membentuk kebijakan harus melindungi warganya dari dampak negatif dari ekonomi politik digital.

Related Posts