Hari Selasa (30/04/2019) ini Bidang Studi Hukum Tata Negara dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengadakan seminar nasional yang bertajuk “Evaluasi Pemilu Serentak 2019”.
Sebagai pembuka acara, Perwakilan Dekan FH UI serta Guru Besar Hukum Tata Negara UI, Prof. Satya Arinanto, S.H., M.H., memberikan pandangannya terkait banyak dimensi dari evaluasi pemilu serentak 2019.
“Karena pemilu serentak 2019 (pemilihan langsung capres dan caleg) ini menyebabkan banyak petugas penyelenggara yang kelelahan hingga akhirnya meninggal, lalu masyarakat hanya peduli dengan capres dan kurang perhatian terhadap caleg. Ini akan menjadi bahan evaluasi KPU ke depannya.” Tutupnya.
Salah satu pembicara, Dr.Fitra Arsil, S.H., M.H. mengatakan bahwa banyak korban jiwa yang jatuh pada pemilu ini, dan bisa dikatakan seperti genosida (penghilangan nyawa secara massal), ada 300 lebih orang yang meninggal karena penyelenggaraan pemilu kali ini, padahal hanya terdapat penambahan satu kotak suara saja (Pilpres) dibanding tahun 2014.
Hal ini ditenggarai terjadi karena pengawas dan petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang memiliki waktu kerja kurang lebih 24 jam penuh untuk bekerja. Hal inilah yang menyebabkan tragedi kemanusiaan itu terjadi. Masalah lainnya adalah 17.000 TPS mengalami hambatan keterlambatan logistik, dan ini memiliki permasalahan penting saat ini. 2000-an pemungutan susulan dan lanjutan pun harus dilakukan karena logistik yang tertukar.
Diharapkan efek ortodias tidak terjadi (pilpres mempengaruhi pileg) dalam pemilu serentak ini. Di beberapa negara (Amerika Latin), sistem pemilu serentak ini tidak cocok karena rentan menimbulkan koalisi berdasarkan suara yang didapat dari setiap partai. Koalisi seperti inilah yang rentan perpecahan.
Sedangkan menurut Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. selaku Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran , bahwa secara teori, presidensial tidak mengenal koalisi, karena seharusnya terbentuk kabinet kementerian profesional yang memilih wakil terbaik berdasarkan kompetensi, bukan banyaknya perwakilan dari tiap partai. Akibatnya, sistem koalisi ini membatasi pilihan gerak pemerintah (goverment choices) dalam mengambil kebijakan.
Selain itu, terdapat sistem pemilu yang harus dievaluasi, yaitu adanya hambatan dari luar yang menambah daftar masalah pemilu kali ini. Adanya ancaman terhadap petugas KPPS serta pemilih yang hanya menggunakan KTP elektronik tanpa surat pemilih menjadi faktor evaluasi lainnya.
Sedangkan Charles Simabura, S.H., M.H. sebagai Peneliti Pusako (Pusat Studi Konstitusi) Universitas Andalas mempermasalahkan tentang makna pemilu serentak. Menurutnya, pemilu serentak bukan dilakukan secara bersamaan dalam waktu sehari saja, melainkan bisa dilakukan di bulan atau minggu yang sama. Perbandingan cost atau biaya pemilu serentak juga terbukti tidak berbeda jauh dibandingkan pemilu sebelumnya, karena hanya sedikit saja perbedaan itu (+-700 m). Efisiensi pemilu pun menjadi tidak terlalu meningkat secara signifikan.