id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Urgensi Pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Urgensi Pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia

Selasa (09/04/2019) Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM UI bekerjasama dengan Departemen Kastrat BEM fakultas se-UI mengadakan diskusi publik yang mengangkat topik seputar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan bertempat di Teater Kolam FISIP UI.

Hingga saat ini, pro dan kontra tentang RUU PKS ini masih terus bergulir dan menimbulkan paradigma yang cukup bias, karena hoaks seputar RUU PKS yang beredar di masyarakat. Diskusi tentang RUU PKS ini merupakan kali ke-empat yang diadakan di UI karena tidak kunjung mendapat titik terang untuk pengesahannya.

Dalam diskusi publik ini dihadirkan beberapa narasumber dari beberapa disiplin ilmu, yaitu Dra. Mamik Sri Supatmi, M. Si (Dosen Kriminologi FISIP UI), Ratna Batara Munti, S. Ag., M. Si (Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia/Kordinator JKP3 (Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Pro Perempuan), Yulianti Muthmainah, S. H. I, M. Sos (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), Cantyo Atindriyo Dannisworo, S. Psi., M. Psi., Psikolog (Dosen Psikologi UI) serta dimoeratori oleh Annisa Sri N. Selaku ketua BEM Psikologi UI 2019.

 

Sebagai pembicara pertama, Mbak Mamik memaparkan penjelasan RUU PKS dari segi Ilmu Kriminologi. Kekerasan seksual terjadi bukan karena kesalahan korban yang kebanyakan perempuan, melainkan adanya faktor lain dan kontrol diri dari para pelaku yang menjadi permasalahan utama.

Beliau mengatakan secara rinci tentang kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam RUU PKS ini. Kekerasan seksual diartikan sebagai tindakan kekerasan,menyakiti,menghina,merendahkan tubuh atau fisik seseorang karena adanya keterpaksaan dan ketimpangan relasi gender atau yang lainnya serta tidak adanya kuasa bebas atas tubuhnya sendiri.

Pengesahan untuk RUU ini sendiri semakin mendesak karena tingkat kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Diharapkan juga RUU PKS bisa menjadi kebijakan yang baik dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Pembicara kedua adalah CantyoAindriyoDannisworoselaku dosen Psikologi UI. Beliau mengatakan bahwa korban kekerasan seksual berpotensi mengalami perubahan emosi yang cukup signifikan, bahkan bisa mengalami PTSD (Post– Traumatic Stress Disorder). Lebih lanjut, dalam RUU PKS ini mengatur bahwa korban kekerasan seksual berhak untuk diberikan fasilitas pemulihan dari kejadian kekerasan seksual yang menimpanya.

RUU PKS menjadi acuan bagi tindakan kekerasan seksual yang tidak dituangkan dalam KUHP sebagai acuan dalam tindakan kasus pidana, seperti pasal pernikahan, perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga, yang menetapkan syarat tertentu dalam proses peradilannya.

RUU PKS tidak melegalkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan perzinahan seperti yang selama ini mendapat kontra dari banyak pihak. RUU PKS sebelumnya sudah disuarakan oleh para aktivis pemerhati perempuan dan sudah dibuat RUU sejenis pada tahun 2005 silam dengan nama RUU Anti Kekerasan Seksual.

RUU PKS merupakan pucuk dari semua rancangan tentang kekerasan seksual dan sudah seharusnya mendapat sambutan baik dari masyarakat agar Indonesia bisa menjadi negeri yang aman bagi warganya khususnya kaum perempuan.

Sebagai penutup, Mbak Manik mengatakan bahwa salah satu kasus yang paling gelap (tidak terhitung secara kuantitatif) adalah kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Pihak penegak hukum, lemahnya ketegasan dalam tindak pidana pelaku, dan stigma masyarakat yang menganggap korban adalah aib menjadi beberapa hal korban kekerasan atau pelecehan seksual ini tidak melaporkan tindakan pelaku.

Untuk itu, diharapkan segera diadakannya pembicaraan resmi hingga pengesahan dari RUU PKS ini oleh DPR RI dan pemerintah agar kekerasan dan pelecehan seksual tidak lagi menjadi momok di Indonesia.

 

 

Related Posts

Leave a Reply