iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Webinar Pajak International FIA UI Bahas Perkembangan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 dari Perspektif Policy Maker dan Akademisi

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Administrasi > Webinar Pajak International FIA UI Bahas Perkembangan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 dari Perspektif Policy Maker dan Akademisi

Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) adalah istilah yang  digunakan oleh negara-negara anggota G-8, G-20 dan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menjelaskan praktik usaha yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional (Multi National Entities/MNEs) untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah/nol (Wells dan Lowel, 2013:2). BEPS 2.0 merupakan lanjutan program dari rencana aksi BEPS yang ditetapkan OECD sebelumnya. Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Dr. Inayati, M.Si., menyampaikan, perkembangan BEPS 2.0 ini merupakan tema yang sangat penting dibahas karena banyaknya perkembangan transaksi di dunia yang menjadi tantangan bagi seluruh otoritas pajak di seluruh dunia.

Atas dasar tersebut, FIA UI menyelenggarakan Webinar Pajak Internasional dengan tema “Perkembangan Terkini BEPS 2.0” sebagai salah satu dari rangkaian Dies Natalis FIA UI pada, Jumat (18/3/2022). “Di Webinar ini, kita akan mengetahui bagaimana perspektif policy maker dan akademik mengenai kebijakan BEPS terbaru dengan segala tantangannya,” ujar Inayati.

Analis Kebijakan Ahli Madya pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal, Suska memaparkan materi terkait dengan perkembangan BEPS 2.0-Pillar 1. Pilar ini memperkenalkan pendekatan baru untuk mengalokasikan hak pemajakan, yaitu dengan mempertimbangkan jumlah partisipasi pengguna (user participation), harta tidak berwujud terkait fungsi pemasaran (marketing intangible), dan eksistensi kegiatan ekonomi yang signifikan (significant economic presence).

Lebih lanjut ia mengatakan, lingkup pengenaan dari Pillar 1 adalah MNEs dengan omset konsolidasi melebihi EUR20 miliar dan laba di atas 10%. Namun, terdapat pengecualian untuk industri ekstraktif dan regulated financial services. MNEs adalah perusahaan atau korporasi yang memiliki tempat usaha di banyak negara, dan memiliki atau memanfaatkan apa yang disebut dengan rantai nilai global atau Global Value Chains (GVCs).

“Untuk metode alokasi adalah porsi 25% dari laba residual. Sementara untuk kepastian menggunakan mekanisme early certainty dan penyelesaian dispute melalui mutual agreement procedures dan pembentukan panel. Terakhir, adalah implementasi melalui konvensi multilateral yang akan ditandatangani pertengahan 2022 dan implementasi efektif pada akhir 2023,” kata Suska.

Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Muda, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan kebijakan Fiskal, Melani Dewi Astuti memaparkan terkait dengan Pillar 2. Ia mengatakan, Pillar 2 memiliki lingkup pengenaan yakni MNEs perusahaan multinasional dalam grup yang entitas konstituennya merupakan anggota MNE Group yang memiliki pendapatan tahunan EUR750 juta atau lebih dalam Laporan Keuangan Konsolidasi Entitas Induk (UPE) UI dalam waktu sekurang-kurangnya dua dari empat tahun anggaran sebelum Tahun Anggaran yang diuji.

Pillar 2 menjelaskan tentang pajak minimum global, khususnya melalui skema Income Inclusion Rule (IIR) akan menjamin perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria tertentu (memenuhi threshold yang ditentukan), dimanapun berada akan membayar tarif pajak efektif PPh Badan sebesar 15%.

“Sementara untuk Pillar 2, pajak minimum global merupakan sebuah sarana untuk melindungi basis pajak Indonesia, karena dengan adanya tarif pajak minimum, tekanan untuk terlibat dalam kompetisi pajak dengan alasan daya saing akan berkurang. Pajak minimum global pun dapat mereduksi peran tax haven, akibatnya skema transaksi menjadi lebih ringkas.  Dalam konteks Indonesia, pajak minimum global akan berdampak pada perusahaan multinasional yang induk UPE-nya berkedudukan di Indonesia atau perusahaan multinasional yang menjalankan operasinya di Indonesia,” jelasnya.

Kemudian, Dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI, Dr. Ning Rahayu, M.Si., menyampaikan, Pillar 2 tidak sejalan dengan BEPS khususnya Action 5 (Harmful Tax Practice). Karena melalui Pillar 2, perusahaan yang melakukan aktivitas ekonomi substantif dan mendapatkan insentif pajak, akan dikenakan pajak atau top up tax di negara domisili.

Related Posts