id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual

shutterstock_172402664

Rabu (26/10/2016), Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI) bekerja sama dengan LBH APIK menyelenggarakan seminar yang bertajuk “Mengungkap Relasi Kuasa dalam Kejahatan Seksual”.

Seminar yang juga didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice ini diselenggarakan di FHUI. Pembicara yang hadir di antaranya adalah Dr. Lidwina I. Nurtjahyo, S.H., M.Si., dosen Fakultas Hukum UI, Ratna Batara Munti, Direktur LBH Apik Jakarta, dan Dr. Kristi Poerwandari, M.Hum dari Yayasan PULIH sekaligus dosen Fakultas Psikologi UI.

Lidwina menjelaskan bahwa relasi kuasa memiliki sifat yang hierarkis, relasi ini akan menciptakan kekuasaan satu pihak terhadap pihak lainnya. Dalam konteks antar-gender, menurut Lidwina, satu pihak yang lemah akan memiliki posisi tawar yang rendah dan cenderung menjadi pihak yang dirugikan.

Umumnya, kelompok yang menduduki posisi tawar lebih rendah adalah perempuan dan anak. Berdasarkan konstruksi sosial budaya, relasi kuasa meletakkan pihak tertentu pada posisi subordinat dan pihak lainnya di posisi superordinat.

Pihak yang berada pada posisi subordinat/lebih lemah ini memiliki konsekuensi harus menerima perlakuan dari pihak yang lebih kuat dari dirinya, bentuk perlakuan itu salah satunya paksaan untuk menjadi objek tindakan seksual.

Di dalam relasi kuasa ini, pihak yang memiliki posisi sebagi superordinat seperti orang tua, paman, guru, atasan kerja, pacar, teman main, hingga orang yang dikenal melalui akun Facebook. Ratna mengungkapkan, di dalam beberapa kasus, perkosaan dilakukan oleh bapak dari korban, bukan bapak tiri melainkan bapak kandung.

Rentang usia korban adalah 14 sampai 17 tahun. Dampak yang terjadi pada korban kejahatan seksual ini tidak hanya sebatas luka fisik, melainkan juga psikis. Trauma dan ketakutan yang dialami oleh korban tidak dalam jangka waktu setahun, dua tahun, melainkan untuk waktu yang sangat panjang.

Ratna menyebutkan hambatan dalam memberikan perlindungan bagi korban ini masih memiliki banyak kendala. Salah satu kendalanya adalah proses hukum yang lambat dan memakan waktu. Proses yang memakan waktu begitu lama ini kadangkala menyebabkan korban tidak semangat dan putus asa untuk mencari keadilan.

Di dalam situasi yang menempatkan pelaku sebagai bagian dari keluarga korban pun menjadi polemik tersendiri, mengingat tidak semua keluarga mendukung tindakan korban untuk melapor ke pihak berwajib.

 

Penulis : Kelly Manthovani

Related Posts