Kasus kejahatan seksual terhadap anak memicu kemarahan publik, sehingga pemerintah akhirnya menerbitkan aturan hukum yang lebih berat untuk pelaku dengan hukuman kebiri kimia dan hukuman mati.
Kebijakan pemerintah ini dalam perjalanannya mengundang pro dan kontra. Pihak yang kontra salah satunya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak terlibat dalam eksekusi hukuman kebiri kimia.
Menurut IDI, keterlibatan mereka akan melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia, dan juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Isu keterlibatan dokter dalam kebijakan kebiri kimia inilah yang menjadi topik utama pembahasan penelitian tim UI yang terdiri dari Muhamad Dzadit Taqwa (Fakultas Hukum UI) sebagai ketua tim dan empat orang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI.
Hasil penelitian tim ini dipresentasikan pada 2nd Academic International Conference on Multidisciplinary Studies and Education 2017 (AICMSE 2017) dengan judul penelitian “Medical Ethics and The Medicolegal Analysis of Chemical Castration Treatment in Indonesia’s Act regarding Child Protection”.
Konferensi ini diadakan pada tanggal 23-25 Januari 2017 di Newnham College, Cambridge University, Inggris dan dihadiri oleh para ilmuwan (profesor, akademisi, and periset) dari seluruh dunia yang bergelut dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Saat diwawancara, Dzadit mengatakan bahwa tujuan tim melakukan presentasi di konferensi internasional ini adalah untuk mensosialisasikan kebijakan kebiri kimia Indonesia di tingkat global.
“Jadi tidak ada kesalahpahaman masyarakat dunia kepada kebijakan pemerintah Indonesia ini. Sekaligus juga bermanfaat dalam mencari masukan/saran atas kebijakan kebiri kimia dari dunia internasional,” tambahnya.
Salah satu masukan yang paling diingat oleh Dzadit adalah adanya keharusan perubahan paradigma dari pemerintah terhadap kebijakan kebiri kimia.
“Kebiri kimia jangan dipandang sebagai hukuman, tetapi obat untuk menahan libido pasien selama masa terapi penyembuhan berlangsung. Lagipula sifatnya hanya sementara, bukan permanen,” jelasnya.
Menurutnya, tidak mungkin terapi dilakukan kepada pasien kejahatan seksual ketika libido mereka sedang tinggi, karena menahan diri bagi para pelaku kejahatan seksual sangatlah sulit.
Selain itu, hasil dari pertemuan dengan para ilmuwan global ini menghasilkan kesimpulan bahwa agar kebijakan pemerintah ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), maka keterlibatan dokter, terutama dokter forensik, wajib dalam setiap proses ekseskusi.
Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM FH UI) di bawah departemen akademisi dan profesi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan membantu pemerintah mengkaji pro dan kontra dari kebijakan kebiri kimia.
Atas penelitian ini, tim UI mendapatkan penghargaan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) sebagai “Future Legal Researcher” serta mendapatkan apresiasi langsung dari Yasonna H. Laoly (Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia).
Penulis: Wanda Ayu A.