
Desain arsitektur karya mahasiswa Universitas Indonesia (UI) berhasil meraih dua juara pada ajang Architecture Student Contest (ASC) 2025. Dalam kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh Saint-Gobain dan diikuti lebih dari 1.300 mahasiswa dari 30 negara tersebut, tim mahasiswa UI meraih Juara 2 dan Juara 3.

Tim UI yang meraih Juara 2 terdiri atas tiga mahasiswa Fakultas Teknik (FT) UI, yaitu Vine Novia Pakpahan, Syahlaisa Afra Amani, dan Luqman Kamaludin. Di bawah bimbingan Dr. Miktha Farid Alkadri, S.Ars, M.Ars., mereka mengusung proyek bertajuk “The Flux”. Proyek ini mengangkat konsep sirkularitas dalam arsitektur sebagai jembatan antara manusia, alam, dan budaya. Inovasi yang mencakup dua zona di Prancis ini meliputi revitalisasi bangunan lama di Chimilin sebagai pusat digital ramah lingkungan, serta pengembangan kompleks laboratorium dan asrama baru di Villefontaine.
“The Flux bukan sekadar proyek desain, melainkan narasi tentang bagaimana arsitektur bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Seluruh rancangan menggunakan strategi pasif, memanfaatkan material lokal, dan menerapkan prinsip desain peka air atau water-sensitive design,” ujar Syahlaisa.

Sementara itu, tim mahasiswa UI lainnya yang meraih Juara 3 adalah Zahari Syafi Arradhin, Valencia Yvonne, dan Kevin Suryawijaya yang juga merupakan mahasiswa FTUI. Prestasi ini didapatkan berkat proyek bertajuk “Breaking Territory Through Terroir” di bawah bimbingan Dr. Ova Chandra Dewi. Inovasi ini mengeksplorasi konsep terroir—yang terbentuk dari iklim, ekologi, material lokal, dan tradisi—untuk menyatukan kawasan terfragmentasi. Studi kasus proyek ini berfokus pada wilayah Nord-Isère, Prancis, dengan menyatukan zona pedesaan Chimilin dan kawasan urban Les Grands Ateliers melalui integrasi jalur kereta cepat Lyon–Turin sebagai katalis pertukaran budaya dan ekologis.
Zahari mengatakan bahwa proyek ini adalah upaya untuk merancang arsitektur yang tidak hanya berfungsi secara fisik, tetapi juga mampu merespons konteks dan budaya lokal secara menyeluruh. “Terroir bukan hanya soal tempat, tetapi juga identitas, dan kami ingin menciptakan ruang yang dapat menjembatani batas-batas wilayah melalui pemahaman tersebut,” ujarnya.

Atas prestasi yang telah diraih tersebut, Dekan FTUI, Prof. Kemas Ridwan Kurniawan, S.T., M.Sc., Ph.D., memberikan apresiasi kepada kedua tim. Menurutnya, capaian ini adalah cerminan semangat inovasi, keberlanjutan, dan kecermatan dalam membaca konteks lokal yang terus ditanamkan.
“Kemenangan ini bukan hanya kebanggaan bagi FTUI, melainkan juga kontribusi terhadap masa depan arsitektur yang berkelanjutan dan inklusif. Kami sangat mengapresiasi dedikasi dan kerja keras para mahasiswa dan dosen pembimbing. Prestasi ini memperkuat komitmen FTUI dalam melahirkan lulusan yang siap menghadapi tantangan global sekaligus mampu berkontribusi bagi pembangunan arsitektur berkelanjutan di Indonesia,” kata Prof. Kemas.
Adapun, kedua inovasi ini menunjukkan kapasitas luar biasa mahasiswa Arsitektur FTUI dalam menyelaraskan desain visioner dengan isu global keberlanjutan. Dengan tetap menjunjung tinggi nilai lokal dan sensitivitas kontekstual, gagasan desain ini berpotensi besar untuk diadaptasi dalam pembangunan gedung di Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan iklim tropis dan urbanisasi yang pesat.
Pendekatan terroir dalam memahami ekologi lokal, serta konsep sirkularitas dan strategi pasif dalam perancangan bangunan, selaras dengan kebutuhan arsitektur tropis yang hemat energi, adaptif terhadap lingkungan, serta berpihak pada kearifan lokal. Kedua proyek tersebut dapat menginspirasi pengembangan ruang-ruang publik dan bangunan multifungsi di Indonesia yang lebih berkelanjutan dan kontekstual.
Penulis: Humas FTUI|Editor: Tim Direktorat Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional UI