Kebangkitan Nasional, sebuah konsep yang lahir pada awal abad ke-20, kini menghadapi tantangan dan peluang baru di era digital. Menurut salah seorang dosen dan peneliti di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Reza Fadeli, Ph.D., mengatakan bahwa semangat kebangkitan ini selain tentang kesadaran berbangsa, tetapi juga bagaimana generasi muda memanfaatkan teknologi untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.
Di masa lalu, Kebangkitan Nasional ditandai oleh pergerakan organisasi seperti misalnya Budi Utomo (yang meskipun didominasi oleh etnik Jawa) tetapi menjadi upaya awal dalam mempersatukan masyarakat dari berbagai daerah melalui pendidikan dan kemajuan sosial ekonomi. Kini, di era digital, semangat tersebut berevolusi menjadi kemampuan warga, khususnya generasi muda, untuk menggunakan teknologi dalam menyebarkan pengetahuan sejarah, membangun akuntabilitas, dan menciptakan solidaritas lintas daerah. Reza mengatakan, media sosial dan platform digital menjadi alat strategis untuk memperluas pemahaman nasionalisme secara partisipatif, di mana konten kreatif berbasis bukti dapat menjangkau jutaan orang dalam waktu yang sangat singkat.
Namun, di balik peluang tersebut, tantangan besar juga menghadang. Banjir informasi palsu (hoaks) kerap mengaburkan fakta, sementara algoritma media sosial justru memperkuat ruang gema (echo chambers) yang memicu polarisasi ataupun kebencian. Selain itu, kesenjangan akses internet di daerah tertinggal turut menghambat partisipasi warga dalam berbagai diskusi. Reza menekankan bahwa literasi digital menjadi salah satu kunci untuk mengatasi masalah ini, agar generasi muda mampu berpikir kritis dan memilah informasi dengan benar.
Menurut Reza, generasi muda dapat mengambil peran aktif dengan memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Pendekatan aktif ini dapat meliputi pembuatan konten visual yang menarik, kolaborasi dengan kreator lintas disiplin, serta kampanye kolaboratif bersama berbagai institusi. Sikap kritis dalam bermedia sosial, seperti melakukan verifikasi informasi sebelum membagikannya akan menciptakan lingkungan digital yang sehat dan bebas dari disinformasi. Hal ini perlu dijalankan dengan mengedepankan etika yang berlandaskan kemanusiaan, inklusivitas, serta demokrasi, sehingga nasionalisme dapat diwujudkan dengan adil dan beradab. Selain itu, membangun micro-communities berbasis isu-isu sosial seperti lingkungan, pendidikan, atau kesehatan dapat menjadi langkah nyata dalam memperkuat jejaring di skala nasional.
Sementara itu, Reza juga menyampaikan bahwa pendidikan memegang peran sentral dalam memperkuat nasionalisme di era digital. Institusi pendidikan perlu mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum, termasuk cara berpikir kritis terhadap informasi sejarah. Keterbukaan akses dan kolaborasi antara lembaga dengan berbagai komunitas di masyarakat juga penting untuk mendorong pemahaman yang mendalam tentang keberagaman. Ia menegaskan, literasi digital yang baik berkorelasi dengan sikap toleran dan pemahaman yang lebih utuh tentang perkembangan bangsa.
Ke depan, Reza melihat semangat Kebangkitan Nasional di dalam dunia digital akan terus tumbuh asalkan didukung oleh pemerataan akses internet disertai dengan pendidikan yang kritis. Pemerintah juga perlu membangun ekosistem digital yang sehat dan mampu menjamin diskusi yang terbuka tanpa adanya diskriminasi. Generasi muda dapat berkontribusi dengan menguasai keterampilan verifikasi informasi, serta terlibat di secara bersama-sama mewujudkan internet yang sehat. Dengan langkah-langkah ini, nasionalisme kolaboratif yang inklusif dan berbasis pengetahuan dapat menjadi pondasi bagi terwujudnya masyarakat madani di masa depan. Melalui kombinasi kesadaran sejarah dan kecakapan digital, generasi muda memiliki kesempatan untuk menghidupkan kembali semangat Kebangkitan Nasional secara relevan dan transformatif.