id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Pentingnya Konteks dalam Penyensoran Tayangan di Televisi

fisip

Program Sarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI menyelenggarakan diskusi berjudul “Dilema Sensor di Televisi Indonesia: E(STE)TIKA” sebagai bagian dari perkuliahan kelas Etika Media pada Kamis (17/11/2016).

Bertempat di Auditorium Gedung Komunikasi FISIP UI, diskusi menghadirkan empat orang pembicara, yakni Hardly Stefano Pariela, S.E., M.KP (Komisioner KPI Pusat), Drs. Gilang Iskandar, M.M. (Sekretariat Korporat Indosiar), Dr. Haryatmoko (pakar Etika Komunikasi), dan Dr. Ade Armando, MS (Dosen Ilmu Komunikasi UI).

Penyelenggaraan diskusi ini dilatarbelakangi oleh munculnya penyensoran tayangan televisi yang menimbulkan reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Tindakan penyensoran yang dinilai berlebihan terjadi pada tayangan Puteri Indonesia 2016, beberapa tokoh dalam film kartun, dan atlet renang di pemberitaan Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun ini.

Meski kemudian diketahui bahwa penyensoran dilakukan oleh stasiun televisi, kekecewaan masyarakat terlanjur diarahkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku regulator penyiaran di Indonesia.

Di sisi lain, stasiun televisi yang melakukan swasensor merasa tindakan ini diperlukan sebagai upaya pencegahan agar tidak ditegur oleh KPI.

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang diterbitkan KPI pada tahun 2012 memang mengamanatkan lembaga penyiaran untuk melakukan kebijakan sensor internal untuk mencegah munculnya tayangan berbau pornografi di televisi.

Namun, terdapat perbedaan persepsi mengenai Pasal 18 P3SPS yang melarang penayangan adegan seksual yang mengeksploitasi bagian-bagian tubuh tertentu.

Menurut Dr. Haryatmoko, konteks menjadi hal yang sangat penting ketika menentukan batasan apakah sebuah tayangan dikategorikan sebagai tayangan pornografi yang harus disensor atau tidak.

“Ketika ada konteks yang menyertai tayangan, maka batasan pornografi bisa dinegosiasikan,” tutur pria yang kerap disapa Romo Moko ini.

Selain itu, perlu juga untuk dipertimbangan apakah dalam tayangan televisi itu menyebabkan dehumanisasi dan pengobjekan manusia atau tidak. Berdasarkan penjelasan ini, maka atlet yang berbaju renang di tepi kolam renang bukan termasuk pornografi dan tidak perlu disensor. Begitu pula halnya dengan tokoh kartun yang memakai bikini.

Permasalahan konteks tayangan ini juga kerap memunculkan dilema pada stasiun televisi yang melakukan swasensor. Gilang Iskandar, selaku praktisi industri penyiaran mengatakan,

“Proses evaluasi tayangan televisi oleh KPI dilakukan secara frame-by-frame sehingga seringkali mengabaikan konteks tayangan.”

Dengan mekanisme ini, maka stasiun televisi lebih memilih untuk memburamkan tayangan daripada harus menerima surat teguran dari KPI yang berdampak pada pengajuan izin siaran.

Menanggapi kekhawatiran ini, Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Hardly Stefano berjanji akan melakukan pendekatan yang lebih bersifat pembinaan ketimbang pemberian sanksi jika ditemukan pelanggaran terhadap P3SPS oleh stasiun televisi.

Pendekatan ini dilakukan untuk mengurangi ketakutan stasiun televisi agar ke depannya tak terulang lagi penyensoran berlebihan semacam ini.

Meskipun demikian, Ade Armando menilai pendekatan baru oleh KPI ini juga harus disambut dengan kesadaran oleh para pelaku industri penyiaran untuk menyajikan tayangan berkualitas.

“Stasiun televisi harus sadar bahwa dampak Anda sangat besar bagi masyarakat Indonesia. Semoga stasiun televisi menjadi lebih peduli dengan perasaan publik yang menikmati tayangannya,” tutur Ade di akhir diskusi.

Penulis: Dara Adinda Kesuma Nasution.

Related Posts