id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

FISIP UI Gelar Diskusi Bahas Mutu Konten dan Kreativitas Perfilman

Untitled

Mutu konten dan kreativitas hal yang penting dalam produksi televisi dan film di Indonesia. Membahas hal tersebut lebih jauh, Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI bersama Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG) dan MediaLink, Kamis (29/10/2015) menggelar diskusi terbuka bertema “Mutu Konten dan ‘Kreativitas’ di Sektor TV dan Film: Berbanding Lurus atau Terbalik?”. Diskusi berlangsung di Auditorium Gedung Komunikasi pada Kamis (29/10/2015).

Diskusi terbuka tersebut menghadirkan pembicara dari praktisi sekaligus Staf Pengajar Ilmu Komunikasi UI Ade Armando, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ricky Pesik, produser film dan pemilik Starvision Chand Parwez, staf khusus bidang Media dan Kemitraan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Fernandez Hutagalung, dan anggota Komisi 1 DPR RI Elnino M. Husein.

Perwakilan CIPG membuka diskusi dengan mempertanyakan kemungkinan inovasi konten televisi dan film. Kreativitas yang dimiliki pembuat konten televisi dan film dipertanyakan; apakah dapat selalu berarti baik atau justru buruk. Chand Parwez lalu membagikan pengalamannya sebagai produser film dan bagaimana pendapatnya tentang konten film Indonesia.

Sebelum membuat film, Chand mengatakan perlunya menentukan premis film tersebut karena sebuah karya atau proses visual didapat dari ide. “Penonton tidak akan benar-benar into film kalau konten film sekadar menghibur saja,” ujar Chand.

Film perlu menunjukkan contoh baik dan buruk realitas kehidupan, tetapi penonton harus bisa memahami pesannya dengan benar. Masalah berikutnya berhubungan dengan bagaimana masyarakat bisa memahami apresiasi terhadap karya audiovisual. Mengacu pada industri film Amerika yang unggul di semua aspek, teknologi dan awareness, kesuksesan industri film Indonesia juga diperoleh dari kesadaran akan pentingnya pembinaan creator film dan masyarakat.

Berikutnya, Ricky Pesik memaparkan kenyataan bahwa marketplace perfilman Indonesia berantakan; bioskop di Indonesia yang hanya berjumlah 100. Pembuatan konten televisi yang pragmatis pun hanya fokus pada mengejar rating. Dalam hal ini, keuntungan berperang dengan idealisme. Sementara itu, Fernandez Hutagalung menerangkan kualitas komunikasi di keluarga harus dipantau terutama dalam menghadapi konten pornografi dan kekerasan di televisi.

Setelah itu, Ade Armando memaparkan data-data seputar perkembangan perfilman Indonesia. Dari 2007—2015, film nasional makin bertambah, namun berbanding terbalik dengan jumlah layar lebar (aspek distribusi). “Insan film Indonesia sangat kreatif. Kita bisa lebih dari Korea,” tukas Ade Armando yakin.

Ade menambahkan, intervensi negara yang tepat sebenarnya dibuuthkan karena tidak ada negara dengan ekonomi kreatif yang kuat tetapi penduduknya sedikit, sehingga Indonesia sebenarnya sangat berpotensi menang bidang perfilmannya.

Sementara itu, Elnino M. Husein menjelaskan dari pihak penyusun kebijakan. Hingga saat ini, RUU Penyiaran masih disusun, meskipun terdapat diskursus yang mengatakan bawa draf UU Penyiaran saat ini terlalu pro industri, bukan publik.

Elnino sepakat mengoordinasikan Bekraf dan LSF di Komisi 1 DPR RI salah satunya untuk memutus rantai pembajakan dengan teknologi. Ade Armando mengusulkan keterbukaan yang lebih dari DPR, terutama masalah penyusunan Undang-Undang karena itu termasuk hak publik.

Pada akhirnya perfilman Indonesia akan bisa ‘bangkit lagi’ dengan intervensi negara dalam hal menyeimbangkan peran swasta dan publik, mengatur aspek distribusi (misal menayangkan film di bioskop terlebih dahulu sebelum di TV), dan penghargaan bagi insan kreatif.

Penulis: Ayu Larasati

Related Posts