iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Guru Besar UI Kembangkan Aplikasi Deskab® Guna Permudah Deteksi Penyakit Skabies

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Kedokteran > Guru Besar UI Kembangkan Aplikasi Deskab® Guna Permudah Deteksi Penyakit Skabies

Skabies atau yang lebih dikenal dengan sebutan gudik/buduk merupakan penyakit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei, tungau yang sangat menular terutama melalui kontak langsung. Skabies bukan merupakan penyakit yang mematikan, namun dapat menurunkan kualitas hidup seseorang. Selain mudah menular, pengobatannya perlu dilakukan dengan anggota keluarga dan/atau komunitas tempat pasien tinggal. Kesulitan memberantas skabies membuat angka prevalensi tinggi di beberapa negara di dunia.

Berdasarkan data Global Burden of Disease Study pada 2015, Indonesia menduduki peringkat pertama negara dengan beban skabies terbesar dari 195 negara. Jumlah kasus terbanyak ditemukan di sekolah berasrama, seperti pondok pesantren dan panti asuhan. Sayangnya, terdapat stigma bahwa skabies merupakan penyakit biasa dan wajar diderita santri, dan peran tenaga nonmedis di sekolah berasrama belum optimal dalam melakukan promosi kesehatan.

Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Sandra Widaty, Sp. D.V.E, Subsp.D.T., dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Penanganan Komprehensif Skabies Melalui Pembelajaran dan Penatalaksanaan Kasus secara Dalam Jaringan dan Luar Jaringan: Menuju Indonesia Bebas Penyakit Tropis Terabaikan (PTT)” di Aula Gedung IMERI, Kampus UI Salemba, Rabu (6/3). Prof.  Sandra dikukuhkan oleh Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., sebagai Guru Besar dalam Bidang Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran (FK) UI.

Lebih lanjut, Prof. Sandra menyampaikan terdapat beberapa strategi khusus dilakukan dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan skabies di Indonesia. Tim Bebas Skabies FKUI mengembangkan sebuah instrumen bernama Deskab® berbentuk kuesioner khusus, berbahasa awam untuk memudahkan deteksi skabies. Instrumen tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah aplikasi seluler bernama Aplikasi Deskab® yang ditujukan bagi pengguna awam untuk kasus curiga skabies.

Aplikasi Deskab® yang dapat diunduh dari Google Playstore ini memiliki dua fitur utama, yaitu deteksi dan edukasi skabies. Fitur deteksi menampilkan kuesioner instrumen Deskab®, sedangkan fitur edukasi berisi informasi penyebab, cara penularan, tanda dan gejala, pengobatan, serta pencegahan skabies. Selain aplikasi Deskab®, berbagai informasi, animasi, dan video bahan ajar telah diunggah pada website www.deskab.fk.ui.ac.id serta channel YouTube @Deskab. Strategi berikutnya adalah mengadakan pelatihan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tenaga nonmedis dalam deteksi dini skabies.

Selain itu, penanganan skabies meliputi pengobatan, sistem rujukan berjenjang yang baik, serta pencegahan oleh individu maupun komunitas. Pengobatan anti skabies lini pertama yang saat ini digunakan di Indonesia adalah krim permethrin 5%. Krim ini masih cukup mahal dan terbatas ketersediaannya, padahal penggunaannya memerlukan jumlah besar karena harus dioleskan pada seluruh permukaan tubuh penderita, diulang dengan jarak satu minggu, dan juga diberikan kepada anggota keluarga serumah serta orang-orang yang berkontak erat dengan penderita.

Dari penelitian yang sudah dilakukan, Prof. Sandra memberikan beberapa rekomendasi dalam pengendalian skabies di Indonesia. Pertama, merekomendasikan Kementerian Kesehatan agar dapat menetapkan skabies sebagai salah satu PTT dan salah satu prioritas perhatian PTT di Indonesia. Kedua, mengusulkan penyediaan ragam obat antiskabies secara lengkap, luas, dan terjangkau. Ketiga, mendorong kolaborasi berbagai Kementerian dan Lembaga Negara di Indonesia untuk bersama-sama menangani skabies. Keempat, meningkatkan kolaborasi antar akademisi, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, serta pihak lain.

Selanjutnya, kelima adalah melakukan promosi kesehatan mengenai skabies melalui berbagai platform media. Keenam, mengadakan pelatihan khusus bagi para tenaga nonmedis di berbagai komunitas. Terakhir, mengikutsertakan masyarakat khususnya kader kesehatan yang terlatih untuk melakukan deteksi dini skabies dan merujuk ke fasilitas layanan kesehatan terdekat secara berjenjang. “Besar harapan dengan beberapa strategi dan rekomendasi tersebut, baik yang telah dilakukan maupun masih dalam bentuk rekomendasi, mempermudah pemberantasan skabies di Indonesia serta mendukung program Menuju Indonesia Bebas Skabies 2030,” ujar Prof. Sandra.

Pada prosesi pengukuhan guru besar tersebut, turut hadir Direktur RSIA Tumbuh Kembang Depok dr. Firdaus Sai Sohar, SpRad(K), SpKN, FISQua; CEO PT Surya Dermato Medica Laboratories Drs. Kuncoro Tanudirjo; Pengurus Bidang Kerjasama MPKU PP Muhammadiyah Dr. dr. Gea Pandhita, Sp.S., M.Kes.; Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor dr. Sri Nowo Retno, MARS; Guru Besar Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Nelva K. Jusuf, Sp.D.V.E.(K), FINSDV, FAADV; Guru Besar Universitas Hasanuddin Prof. Dr. dr. H Anis Irawan Anwar, Sp.D.V.E.(K), FINSDV, FAADV; dan Guru Besar Universitas Kristen Indonesia Prof. Dr. dr. Retno Wahyuningsih, MS, SpParK.

Prof. Dr. dr. Sandra Widaty, Sp. D.V.E, Subsp.D.T., menamatkan pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran pada 1994. Kemudian, pada 1998 ia menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di FKUI. Pada 2008, ia dikukuhkan menjadi Konsultan Dermatologi Tropik, Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Indonesia. Selanjutnya, ia berhasil mendapatkan gelar Doktor Bidang Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2015.

Sampai dengan saat ini, Prof Sandra aktif menghasilkan karya ilmiahnya yang terdiri atas 52 jurnal internasional dan 31 jurnal nasional. Beberapa publikasi ilmiah tersebut, di antaranya berjudul Scalp microbiome of healthy women wearing hijab compared to those not wearing hijab: a cross-sectional study (2023); Characteristic of Skin Diseases in Two Public Boarding Schools Occupants in West Java 2018 (2023); dan Mucocutaneous mycoses in people living with human immunodeficiency virus in Indonesia (2021).

Related Posts