id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

JKN & Pelayanan Kesehatan Jiwa: Upaya Pencegahan Diskriminasi Publik

Penulis: Muhammad Husni

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menggelar kegiatan seminar daring pada Rabu (30/6) dengan tema “Perlindungan Sosial dan Stigma bagi Penyandang Disabilitas”. Pada acara tersebut, dr. Ari Dwi Aryani, M.KM (Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Primer Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  Kesehatan/BPJS Kesehatan) menjadi salah satu pembicara utama.

Dwi dalam pemaparannya menjelaskan tentang pentingnya peran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam menjaga stabilitas kesehatan dan ekonomi masyarakat. Ia mengatakan, “Jika dahulu, pelayanan kesehatan seperti rumah sakit hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang dan terkesan mewah, sekarang itu bisa diakses oleh semua golongan dengan hadirnya BPJS yang turut menggerakkan perekonomian Indonesia”.  Menurutnya, JKN mampu mencegah terjadinya kemiskinan pada 8,1 juta orang pada tahun 2019 dan menurunkan koefisien gini (angka ketimpangan sosial masyarakat) yang besar di masyarakat.

Terkait konteks permasalahan kesehatan jiwa, JKN juga menyediakan layanan kesehatan jiwa pada tingkat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan tingkat lanjutan.“BPJS juga memberikan bantuan penyediaan alat bantu dengar dan alat bantu gerak bagi penyandang disabilitas psikososial dengan spesifikasi sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga kini para penyandang disabilitas tidak lagi merasa terdiskriminasi dan dikucilkan,” ujar dr. Dwi.

Perlakuan pengucilan dan diskriminatif ini juga menjadi bahasan utama dari narasumber lainnya, yaitu Yeni Rosa Damayanti dalam pemaparannya yang berjudul “Perlindungan Sosial Bagi Orang Dengan Disabilitas Psikososial”. Menurutnya, masyarakat cenderung memberikan label negatif bagi para penderita masalah kesehatan jiwa, sehingga mereka cenderung mengalami diskriminasi, seperti kesulitan mendapat pekerjaan, hak memilih dalam pemilihan umum, serta kesulitan dalam mendapatkan hak asuh anak. Disamping itu, penderita disabilitas gangguan jiwa juga mengalami berbagai diskriminasi secara fisik seperti pemasungan dan di rantai.

Menurutnya, bentuk rehabilitasi terbaik bagi penyandang disabilitas psikososial harus bersifat inklusif. “Dalam artian berada di tengah-tengah masyarakat, bukan bersifat pengurungan seperti banyak yang terjadi saat ini. Selain itu pemerintah juga harus menyediakan akomodasi berupa tunjangan dan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas psikososial,” ujarnya menjelaskan.

Sebagai data tambahan, ia memaparkan bahwa saat ini terdapat hampir 13.000 penyandang disabilitas berada di dalam panti sosial yang tersebar di seluruh Indonesia. Penderita disabilitas psikososial juga mengeluarkan living cost 28% lebih besar dibanding penduduk normal sehingga memang upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif dari pemerintah harus segera diupayakan. Seminar ini diikuti lebih dari 500 peserta dari berbagai kalangan dan disiarkan secara live streaming melalui kanal Youtube UI teve.

Related Posts