id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Memahami Fenomena Main Hakim Sendiri di Masyarakat

Universitas Indonesia > Berita > Memahami Fenomena Main Hakim Sendiri di Masyarakat

Masih segar di ingatan kita tentang kasus main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat terhadap pria berinisial MA, di Babelan, Bekasi.

Dalam kasus yang sempat mencuat di media tersebut, MA dibakar hidup-hidup oleh warga karena diduga mencuri amplifier dari sebuah mushala.

Menanggapi kasus ini, dosen Fakultas Psikologi UI, Agnes Nauli Shirley W. Sianipar, mengatakan bahwa kasus ini terkait dengan dua fenomena psikologis yang disebut abuse of power dan bystander effect.

Dalam teori abuse of power, setiap orang punya kecenderungan alamiah untuk mencari dominasi atau kuasa atas orang lain. Kecenderungan ini memanisfestasikan bentuk sosialnya lewat kelompok sosial.

Berada dalam kelompok memberikan ilusi kalau kita kuat atau berkuasa. Kekuasaan sangat erat kaitannya dengan faktor emosional dominasi.

Ketika amarah muncul, maka secara alamiah kita ingin menunjukkan dominasi kita kepada penyebab kemarahan kita. Hal ini terutama terjadi ketika teritori kita diganggu oleh orang asing.

Inilah yang menyebabkan saat orang yang terlihat membawa pengeras suara mesjid diteriaki maling, saat itulah massa tersulut amarahnya karena merasa teritorinya dilanggar (walaupun dugaan tersebut belum tentu benar).

Fenomena bystander effect juga turut berperan dalam terjadinya peristiwa main hakim sendiri ini.

Peristiwa ini sebenarnya dapat dicegah seandainya para pengamat (bystanders) berani mengambil tanggung jawab dan berkata “Berhenti”.

Memang ada kecenderugan bahwa pengamat berilusi seolah-olah tanggung jawabnya sangatlah kecil karena ia bukanlah satu-satunya pengamat yang melihat peristiwa.

Seringkali bystander effect terjadi karena sikap tidak mau ikut campur, bukan urusan saya, dan lain-lain. Namun, hal ini dapat diatasi bila kita memilih untuk mengambil peran dan terlibat atas apa yang kita alami.

Pemahaman bahwa kita berada disana, bukan hanya sekedar kebetulan, namun kehadiran kita dapat memberi makna positif bagi masyarakat bila kita mau terlibat dan bertindak demi kemanusiaan.

Saat akal sehat telah digantikan oleh ilusi kekuasaan kelompok, saat itulah kita harus berani berkata “Tidak” atau “Jangan” atau “Hentikan”.

Terutama saat situasi telah mampu mengubah orang-orang biasa menjadi serigala pembunuh bagi sesamanya.

Penulis: Humas Fakultas Psikologi

Related Posts

Leave a Reply