id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Menilai Keefektifan Wawancara Investigatif Kasus Kekerasan Seksual pada Anak

Universitas Indonesia > Berita > Menilai Keefektifan Wawancara Investigatif Kasus Kekerasan Seksual pada Anak

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 2016 mencatat, sekitar 30% dari 11.207 pelaporan yang dihimpun sepanjang tahun 2015 adalah kasus kekerasan seksual.

Secara spesifik dalam kasus kekerasan terhadap anak, berdasarkan publikasi harian Kompas yang bersumber dari data Komnas Perlindungan Anak dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2011 – 2014, kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan tertinggi yang dialami anak, berkisar antara 54% sampai 62% dari seluruh laporan kasus kekerasan terhadap anak yang dapat dihimpun.

Membahas hal tersebut, pada Selasa (23/10/2017), Fakultas Psikologi mengadakan Pelatihan “Protokol Wawancara Investigatif NICHD Penyidik Unit Pelayanan Perempuan & Anak Polri” selama empat hari pada 23 – 26 Oktober 2017.

Data yang berhasil dihimpun umumnya data dimana anak perempuan sebagai korban. Data mengenai anak laki – laki sebagai korban kekerasan seksual di Indonesia masih sangat terbatas. Jika ditelisik lebih lanjut, dalam 3 tahun terakhir di Indonesia terjadi kasus kekerasan seksual pada anak yang sangat memprihatinkan dan menarik perhatian masyarakat tidak hanya secara nasional tetapi juga internasional.

Mulai dari kasus Jakarta International School (JIS) yang dilaporkan di akhir tahun 2014 sampai pada kasus Y di Bengkulu, anak perempuan 14 tahun yang menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang.

Berdasarkan data yang ada, kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia perlu ditangani secara serius. Pemerintah Republik Indonesia telah menunjukkan perhatian dan kepedulian yang mendalam terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang–Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang pemberatan pidana tambahan dan tindakan lain bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

Terkait upaya penegakan hukum kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan di Indonesia menunjukkan komitmennya untuk memberikan pelayanan yang terbaik melalui penyediaan Ruang Pemeriksaan Khusus dan atau Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) yang diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) dan Perkap Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana.

Meskipun demikian, kasus kekerasan seksual terhadap anak memiliki karakteristik dan kekhasan tersendiri yang berkontribusi terhadap kompleksitas upaya penegakan hukum. Riset di beberapa negara mengenai upaya penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual pada anak menunjukkan hasil yang kurang menggembirakan.

Fitzgerald dalam penelitian yang dilakukannya di salah satu wilayah hukum di Australia menemukan hanya 15% dari pelaporan kasus kekerasan seksual terhadap anak di kepolisian yang dapat diproses secara lanjut dan hanya 8% dari pelaporan yang kemudian pelakunya dinyatakan bersalah di pengadilan.

Riset terkini di tahun 2016 yang dilakukan Christensen dkk juga menunjukkan hasil yang kurang lebih sama, yaitu: hanya 40% dari pelaporan yang kemudian pelakunya terbukti bersalah dan mendapatkan vonis pengadilan. Di Indonesia sendiri, belum ditemukan adanya publikasi yang secara komprehensif meneliti mengenai prosecution rates: indeks yang menunjukkan rasio kasus yang lengkap untuk dapat diproses secara hukum dibandingkan dengan jumlah pelaporan yang masuk.

Terdapat beberapa dinamika seputar pelaporan dan penegakan hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak yang umumnya terjadi dan berdampak pada proses penegakan hukum. Anak korban seringkali enggan sehingga kemudian menunda, tidak menyampaikan secara lengkap bahkan menolak untuk mengungkap kekerasan seksual yang dialaminya terutama apabila pelaku berasal dari dalam keluarga sendiri atau orang yang dekat dan berpengaruh bagi anak.

Seringkali tekanan lingkungan atau sosial juga dialami oleh anak dan keluarga, misalnya orangtua tidak mendukung anak untuk melapor karena dianggap membuka aib dan memalukan bagi keluarga. Tidak jarang terjadi, anak dan keluarga menarik laporan atau tidak bersedia melanjutkan upaya penegakan hukum dengan berbagai alasan.

Temuan lapangan menunjukkan bahwa upaya yang telah dilakukan di UPPA dengan menyediakan fasilitas fisik yang ramah anak ternyata belum cukup. Pada beberapa kasus anak diamati menolak dan merasa tidak nyaman untuk memberikan keterangan.

Teknik wawancara dalam rangka pengambilan data pun ditemukan kurang efektif misalnya banyaknya pertanyaan yang bersifat mengarahkan, memiliki kecenderungan untuk mengkonfirmasi temuan/bukti sementara yang ada. Hal ini tentunya berdampak pada kredibilitas dan akurasi dari keterangan atau informasi yang diperoleh dari anak.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam banyak kasus, terdapat jeda waktu yang cukup panjang antara waktu terjadinya peristiwa kekerasan seksual pada anak dan waktu pelaporan. Konsekuensi yang sering terjadi adalah tidak adanya saksi selain anak itu sendiri dan dibantahnya tuduhan yang diungkapkan anak oleh individu sebagai tersangka.

Dalam beberapa pelaporan kasus kekerasan seksual terhadap anak, keterangan yang disampaikan anak menjadi satu–satunya alat bukti awal yang tersedia. Oleh karena itu penyidik perlu mengumpulkan informasi atau keterangan dari anak dengan sebaik mungkin melalui wawancara.

Wawancara terhadap saksi (korban) yang melaporkan terjadinya kasus kekerasan seksual pada anak tidak mudah. Beberapa keluhan yang disampaikan penyidik antara lain: keterangan anak berubah–ubah, anak diam atau menolak untuk mengungkap informasi penting dalam rangka penyidikan.

Untuk mengatasi kompleksitas dari upaya memperoleh keterangan dari anak dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, terdapat suatu protokol yang khusus dikembangkan oleh Michael Lamb dkk dari Institut Nasional untuk Perkembangan dan Kesehatan Anak di Amerika Serikat (National Insitute of Child Health and Human Development – NICHD).

Protokol NICHD memberikan struktur yang jelas dari wawancara investigatif kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan menerapkan pemahaman mengenai perkembangan dan kemampuan anak serta menciptakan kondisi yang memaksimalkan disampaikannya informasi atau pernyataan anak yang lebih akurat. Studi lapangan di berbagai negara menunjukkan efektifitas dari protokol NICHD ini dalam wawancara investigasi kasus kekerasan seksual.

Hadir sebagai fasilitator Nathanael Sumampouw, M.Psi, M.Sc, Psikolog Dosen tetap dan peneliti dari Bidang Psikologi Klinis, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dan Dr. Henry Otgaar Asisten Professor dari Seksi Psikologi Forensik, Departemen Clinical Psychology Science, Maastricht University, Belanda. Koordinator Program Master di Fakultas Psikologi dan Neurosains, Maastricht University.

Saat ini, protokol NICHD belum diterapkan di Indonesia. Penyidik di PPA belum memiliki panduan teknis tentang bagaimana melakukan wawancara investigatif terhadap anak. Atas dasar itulah, dalam rangka terus memperkuat peran dan memberdayakan UPPA serta penyidik yang ada didalamnya, pelatihan ini diselenggarakan. Pelatihan ini diharapakan dapat berkontribusi terhadap upaya mewujudkan penegakan hukum yang efektif, berbasis bukti (evidence-based) dan ramah anak melalui peningkatan keterampilan wawancara bagi penyidik dengan mengadministrasikan protokol NICHD.

Sumber : psikologi.ui.ac.id

Related Posts

Leave a Reply