iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Pakar Psikologi UI: Cegah “Kena Mental” dengan Kenali dan Kelola Stres pada Diri Sendiri

Pemberitaan di media massa tentang tindakan bunuh diri yang belakangan ini terjadi, menyita perhatian publik, terutama ketika hal itu dilakukan oleh mereka yang tergolong usia muda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Organisasi Riset Kesehatan–BRIN, Yurika Fauzia Wardhani, sepanjang tahun 2012 hingga 2023, dari 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia, terdapat 985 kasus yang terjadi pada remaja atau sekitar 46,63% dari total keseluruhan.

Alasan di balik perilaku tersebut adalah masalah psikologis atau tingkat stres yang tinggi. Oleh karena itu perlu dicari tahu lebih lanjut penyebab stres yang menyebabkan tindakan bunuh diri. Menurut pakar Psikologi Klinis Universitas Indonesia (UI) Dini Rahma Bintari, S.Psi., M.Psi., Ph.D., Psikolog., stres adalah suatu kondisi yang merupakan hasil interaksi antara orang dan lingkungannya yang mengandung kesenjangan antara tuntutan sebuah situasi dengan sumber daya atau kemampuan biologis, psikologis, ataupun sistem sosial individu.

Lebih lanjut ia menyampaikan, kesenjangan antara tuntutan dan kemampuan ini dapat berupa hal yang nyata secara faktual, maupun hanya persepsi yang tidak realistis dari individu tersebut mengenai diri dan lingkungannya. Persoalan sehari-hari, konflik dengan orang lain, frustrasi, dan trauma juga termasuk jenis stres dalam bentuk yang khusus. “Setiap hari, tentu saja kita menghadapi tantangan dari lingkungan yang dapat kita persepsikan sebagai stressor atau penyebab stres. Misalnya, kita setiap hari menghadapi kemacetan atau kerepotan di rumah tangga, atau masalah di kantor, atau konflik dengan teman dan kerabat,” ujar Dini.

Pada kenyataannya, tidak semua hal yang mungkin menjadi penyebab stres kemudian dapat membuat seseorang menjadi stres. Ada perjalanan panjang dari sebuah penyebabnya hingga menjadikan orang tersebut menjadi stres berat atau menimbulkan perilaku yang tidak biasa, bahkan perilaku yang mengganggu diri maupun orang lain. Besarnya penyebab stres, lamanya, dan seringnya seseorang mengalami penyebab itu dapat menentukan seberapa tingkat stres orang tersebut. Di sisi individu pribadi, bagaimana cara pandang mengenai beratnya penyebab stres dan seberapa mampu untuk mengatasinya, juga menentukan apakah penyebab stres akan memicu tingkat stres yang lebih tinggi.

“Apakah kita sudah ‘kena mental’ atau kita dapat bertahan menghadapi stres? Bila ingin meningkatkan kemampuan menghadapi stres, kita perlu mengenali dan mengelola stres pada diri kita,” ujar Dini. Stres memiliki dampak yang berbeda-beda pada setiap orang, katanya lagi, karena itu perlu mengenali perubahan yang paling mudah terjadi pada diri seseorang saat mengalami stres.

Dini, yang juga pengajar di Fakultas Psikologi (FPsi) UI, menjelaskan bahwa terdapat empat kategori dari dampak stres, yaitu perasaan, pikiran, fisik, dan perilaku. Berbagai dampak tersebut bisa muncul keempatnya dalam diri individu, meskipun tiap orang ada pola yang paling dominan. Misalnya, ada orang yang perasaaannya mudah terganggu, tapi kinerjanya tidak terganggu. Namun, pada stres yang berat, biasanya berdampak besar pada keseluruhan empat kategori tersebut.

“Stres dialami melalui beberapa tahap di dalam diri kita untuk dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap kehidupan seseorang. Bila kita mengenali dari awal tahapan stres yang dihadapi, maka kita dapat melakukan berbagai cara untuk mengatasinya agar tidak berdampak lebih dalam di kehidupan kita,” kata Dini. Adapun tahapan stres itu terbagi lima, yakni tahap menghadapi sumber stres, persepsi terhadap sumber stres, kelola respon emosi, mulai berdampak pada kondisi fisik, dan konsekuensi yang lebih berat.

Salah satu dampak yang dapat menjadi konsekuensi berat dari stres yang tidak tertangani dengan baik, adalah agresivitas yang dapat meningkat, seperti yang belakangan ini sering terdengar, yaitu bunuh diri dan pembunuhan. Emosi negatif termasuk kemarahan dan kekecewaan yang tidak tertangani dapat menurunkan kemampuan kontrol diri serta kemampuan berpikir logis dan sehat. Hal ini menurunkan kemampuan memilih tindakan yang tepat dalam menghadapi masalah. Faktor pola kepribadian juga menjadi hal yang menentukan tindakan yang akan diambil seseorang bila mengalami konsekuensi stres berat ini.

Orang yang cenderung menyimpan masalah dan merasa tidak berdaya menghadapi lingkungan, akan lebih cenderung menyakiti diri sendiri yang dapat berakibat lebih berat hingga bunuh diri. Sementara itu, orang yang cenderung ekspresif dan meledak ledak lebih mungkin untuk bersikap agresif ke orang lain dan dapat saja melakukan pembunuhan. Namun, tidak tertutup kemungkinan orang yang terkesan pendiam, memiliki pola pikir yang kurang tepat karena stres yang berat sehingga setelah cukup lama dalam kondisi tersebut, kemudian berpikir bahwa dengan membunuh akan menyelesaikan persoalan hidupnya.

“Pada dasarnya, semua kejadian tentu saja bukan terjadi karena alasan tunggal, sehingga masalah perlu dilihat secara komprehensif dari berbagai sudut pandang untuk setiap kasus individual. Stres bukanlah satu-satunya penyebab tindakan kriminal maupun menyakiti diri sendiri. Sebagai sesama manusia, tentu kita perlu saling mendukung agar diri kita dan orang di sekitar kita tidak mengalami stres secara berkelanjutan dan menjadi semakin berat. Cobalah untuk lebih memahami orang lain, dan membuat situasi menjadi cukup nyaman secara psikologis untuk orang di sekitar Anda,” ujar Dini.

Menurutnya, lingkungan sosial yang saling berelasi dengan hangat, mendukung kesehatan psikologis dan fisik orang lain, dan kemampuan komunikasi yang baik akan sangat membantu membuat masyarakat menjadi lebih sehat dan dapat mengurangi kriminalitas. Banyak hal yang bisa lakukan untuk mengurangi stres di lingkungan, misalnya lingkungan warga yang saling berkomunikasi, kegiatan olahraga di perumahan, atau pemberian dukungan makanan bagi yang membutuhkan.

Related Posts