iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Potensi Masalah Baru Bagi Optimalisasi Penerimaan Negara

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Administrasi > Potensi Masalah Baru Bagi Optimalisasi Penerimaan Negara

Depok, 27 Juni 2023. Sebagai bentuk implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan maka telah dilaksanakan integrasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tujuan integrasi ini adalah untuk mempermudah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memantau masyarakat yang masuk kriteria sebagai wajib pajak.

Kendati demikian, penggunaan NIK sebagai NPWP dapat memunculkan masalah optimalisasi penerimaan negara. Ia  memunculkan potensi permasalahan lain, yaitu Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak milik wajib pajak yang seharusnya bersifat rahasia, dapat tersebar luas.

Dasar hukum NIK adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. NIK ini dipakai oleh masyarakat untuk kegiatan penataan dokumen dan data kependudukan demi kepentingan pelayanan publik. Sementara NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai identitas untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya.

“Jadi kalau NIK ini berbicara tentang data kependudukan dan kewarganegaraan, sedangkan NPWP berbicara tentang data finansial,” kata Hadi Poernomo, Ketua BPK RI periode 2009-2014 saat berbicara dalam webinar bertajuk “Menuju Single Identification Number: Penggunaan NIK sebagai NPWP Cukupkah?” “Terdapat jurang perbedaan yang cukup besar antara keduanya. Selain fungsi, ada kontradiksi antara peraturan yang mengikat NIK dan NPWP tersebut,” lanjut Hadi. Dalam Pasal 34 Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) ditegaskan, SPT tahunan dilarang untuk disebarluaskan baik oleh pejabat yang berwenang maupun oleh tenaga ahli.

“Sedangkan dalam Pasal 44E Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mengindikasikan bahwa data yang bersifat rahasia tersebut diduga dapat tersebar luas kepada pihak di luar DJP,” ungkap Hadi. Integrasi data NIK dan NPWP memperjelas bahwa terdapat permasalahan data yang sebenarnya telah diselesaikan dengan Bank Data Perpajakan melalui Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP. Pasal 35A ini mengatur bahwa Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga, Asosiasi, serta pihak-pihak lain wajib memberikan data dan informasi tentang perpajakan ke DJP.

“Namun, peraturan ini sepertinya tidak dimanfaatkan padahal data dalam Bank Data Perpajakan jauh lebih lengkap daripada mengintegrasi NIK dengan NPWP,” lanjut Hadi. Dengan Bank Data Perpajakan (SIN), Pemerintah seharusnya tidak lagi berkeluh kesah mengenai kekurangan data wajib pajak dan tax coverage. Hal ini dikarenakan semua pekerjaan itu dapat dilakukan oleh Bank Data Perpajakan dengan metode link and match. “SIN bukan hanya sekadar reformasi administrasi tapi transformasi administrasi untuk mewujudkan kemandirian fiskal,” ujar Hadi.

Sementara Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, mengatakan, administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan perpajakan karena kebijakan perpajakan yang baik jika tidak didukung dengan administrasi perpajakan yang baik, akan menyebabkan masalah. Masalah ini bukan hanya aspek teknis, namun aspek yang lebih substantif yaitu bagaimana pajak menjadi darah negara yang membuat negara bisa hidup, sehat, untuk memakmurkan rakyat adil dan merata.

“Kebijakan integrasi NIK dan NPWP ini lemah dalam metodologi kebijakan karena riset kebijakan yang terabaikan. Kebijakan perpajakan yang sebenarnya memiliki arti yang lebih luas dari sekadar mengganti NPWP menjadi NIK atau menggunakan NIK sebagai NPWP,” kata Prof. Haula.

Undang-undang mengamanatkan perwujudan Single Identity Number (SIN) untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik untuk menjamin kemandirian fiskal.  Karena pajak adalah darah negara dan berbagai negara sudah mengarah pada kebijakan bank data perpajakan atau SIN. “SIN ini bisa jadi instrumen administrasi untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat,” lanjut Prof. Haula pada webinar yang berlangsung tanggal 3/6 dan digelar oleh Klaster Riset Politics of Taxation, Welfare and National Resilience (POLTAX) Universitas Indonesia.

Related Posts