Posisi Indonesia sebagai satu-satunya negara ASEAN di grup dua puluh (G20) sangat strategis untuk membawa perubahan atas permasalahan ekonomi dan non-ekonomi ASEAN.
Namun, posisi Indonesia yang sangat strategis tersebut mempunyai hambatan dan tantangannya sendiri, terutama dalam menghadapi KTT G20 mendatang.
“Hambatan pertama Indonesia mengenai keberagaman itu sendiri”, ucap Rizal Affandi Lukman selaku Sherpa G20 Indonesia yang juga merupakan Deputi di Kemenko Perekonomian .
Hambatan itu dikarenakan dari Sabang sampai Merauke terdapat pemahaman yang beragam, yang harus disuarakan ke forum G20.
Mahendra Siregar, Mantan Kepala BKPM dan Wakil Menteri Keuangan juga menambahkan bahwa hambatan selanjutnya adalah mengenai percaya diri bangsa Indonesia itu sendiri.
“Sebagai negara sekarang makin takut terhadap pengaruh internasional, berdialog dengan luar, dan akibatnya kita seakan melakukan proteksi agar tidak dipengaruhi globalisasi”, imbuhnya.
Sedikit berbeda dengan keduanya, Dr. Makmur Keliat selaku Akademisi UI mengatakan bahwa tantangan sesungguhnya itu ada ketika setelah forum dan sebelum forum KTT G20 tersebut.
“Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana menerjemahkan dokumen menjadi monumen saat setelah forum, jadi harus ada monitoring dan evaluasi yang bener sehingga ada wujud kongkritnya”, ucap Makmur.
Pemaparan ini dipaparkan dalam seminar bertajuk “Diplomasi Ekonomi Indonesia: Partisipasi Indonesia dalam Forum G20 dan Hasil KTT G20 Tahun 2017” Selasa, (12/9/2017) di Ruang Apung Perpustakaan UI Depok.
Seminar ini diadakan oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian bekerja sama dengan Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
G20 sendiri dibentuk pada tahun 1999 sebagai respon krisis ekonomi global dan difokuskan pada upaya mereformasi sistem keuangan global.
G20 ini diikuti 20 negara dengan Gross Domestic Product(GDP) di dunia. KTT G20 selanjutkan akan diselenggarakan di Argentina pada tahun 2018 mendatang.
Penulis: Raden Dimas Aryo