id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

UI Kukuhkan Dua Pakar Kesehatan Anak sebagai Guru Besar

Universitas Indonesia > Berita > UI Kukuhkan Dua Pakar Kesehatan Anak sebagai Guru Besar

Universitas Indonesia kembali mengukuhkan dua Guru Besar Tetap dari Fakultas Kedokteran pada Rabu (18/12/2019), pukul 10.00 WIB di Aula IMERI FKUI, Kampus UI Salemba.

Sidang terbuka pengukuhan guru besar dipimpin oleh Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, SE, MA, PhD, yang mengukuhkan dua pakar kesehatan anak yaitu Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) dan Prof. Dr. dr. Partini Pudjiastuti Trihono, SpA(K), MM(Paed).

Pada kesempatan tersebut, Prof. Damayanti menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Pendekatan Nutrisional Genomik dalam Penanggulangan Stunting: Upaya Mendapatkan Tata Laksana yang Tepat untuk Mewujudkan Generasi Emas Indonesia”. Sementara Prof. Partini menyampaikan pidato yang berjudul “Hipertensi pada Anak dan Remaja: Eskalasi Masalah yang Belum Terungkap.”

Dalam pidatonya, Prof. Damayanti memfokuskan pada kondisi stunting yang menjadi masalah penting dalam konteks ketahanan bangsa.

Stunting adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan perawakan pendek yaitu panjang/tinggi badan menurut umur di bawah – 2 simpang baku grafik pertumbuhan linear, yang disebabkan oleh malnutrisi kronis. Malnutrisi kronis dapat disebabkan oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat dan atau kebutuhan nutrisi yang meningkat.

Asupan nutrisi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh ketidak-tahuan orangtua tentang pola makan bayi dan batita yang benar, ketidak tersediaan pangan karena kemiskinan, atau penelantaran anak.

Asupan nutrisi yang tidak adekuat pada masa kritis perkembangan otak di 1000 Hari Pertama Kehidupan akan menurunkan kemampuan kognitif seorang anak dan meningkatkan risiko penyakit tidak menular misalnya obesitas, diabetes, penyakit jantung koroner, hingga hipertensi di kemudian hari.

Windows of opportunity perbaikan kognitif akibat malnutrisi pada seorang anak adalah pada 2 tahun pertama kehidupan dengan kombinasi perbaikan asupan nutrisi dan stimulasi. Namun, keduanya hanya dapat mengoreksi kognitif maksimal 90%.  Oleh karena sulitnya menatalaksana stunting, maka pencegahan lebih diutamakan.

Analisis nutrigenomik mempelajari bagaimana komponen bioaktif makanan mengubah profil ekspresi gen, memperlihatkan bahwa konsumsi protein berperan dalam mencegah hambatan pertumbuhan panjang/tinggi badan melalui berbagai mekanisme regulasi di tingkat epigenetik dan transkripsi.

Bukan hanya sekedar protein, tetapi harus memenuhi persyaratan mengandung asam amino esensial yang lengkap dan cukup, serta mudah dicerna dan diabsorbsi di usus halus. Seluruh persyaratan tersebut terpenuhi oleh protein hewani yaitu susu (termasuk ASI), telur, ikan, dan unggas.

“Setelah ditelaah melalui pendekatan nutrisional genomik ternyata penanggulangan stunting cukup sederhana, yaitu dengan penerapan pola ASI dan MPASI yang bergizi lengkap, cukup, dan seimbang khususnya perbandingan protein hewani terhadap total energi dengan memanfaatkan sumber pangan hewani lokal.

Penting juga untuk memantau tumbuh-kembang dengan menerapkan cara menimbang berat badan yang benar yaitu tanpa baju atau dengan baju dalam tipis, mengukur panjang badan dengan alat pengukur baku yang berbeda untuk anak di bawah dan di atas 2 tahun, menganalisis hasil timbang-ukur untuk deteksi dini weight faltering (kenaikan berat badan yang tidak adekuat) dan masalah gizi lain, yang diikuti dengan rujukan kepada dokter puskesmas serta dokter spesialis anak untuk diagnosis dan tata laksana segera secara komprehensif,” papar Prof. Damayanti.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Partini memaparkan terkait hipertensi pada anak dan remaja sebagai masalah kesehatan global yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang meningkat.

Studi pada populasi anak dan remaja berusia 8-17 tahun menunjukkan peningkatan kejadian hipertensi sebesar 38% dibandingkan dengan data dua dekade sebelumnya, namun seringkali kurang mendapat perhatian yang memadai.

Sedangkan data nasional tahun 2018 di Indonesia menunjukkan prevalensi hipertensi pada dewasa meningkat 1,5 kali dalam kurun waktu 5 tahun, sementara hipertensi pada remaja usia 15-18 tahun didapatkan sebesar 18,9%.

Setidaknya terdapat empat alasan penting yang mendasari pernyataan tersebut di atas, yaitu (1) Telah terjadi peningkatan epidemiologi hipertensi dengan meningkatnya epidemi obesitas; (2) Anak dengan hipertensi mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk menderita hipertensi pada masa dewasa; (3) Kerusakan organ dan proses aterosklerotik pada pembuluh darah, sebagai akibat hipertensi, telah mulai sejak masa anak dan menetap sampai dewasa; dan (4) Angka kejadian obesitas pada anak dan bayi berat lahir rendah yang meningkat.

Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi eskalasi masalah hipertensi pada anak dan remaja, agar dampak masalah ini terhadap morbiditas, disabilitas, dan mortalitas, baik pada masa anak maupun masa dewasa, serta beban masyarakat yang ditimbulkannya, dapat dikendalikan.

Prof. Partini merekomendasikan program terintegrasi untuk mengidentifikasi faktor risiko hipertensi pada anak dan remaja.

“Program terintegrasi ini dimulai dari pendidikan dan promosi kesehatan di tingkat sekolah melalui Usaha Kesehatan Sekolah. Program terintegrasi berbasis masyarakat dan keluarga dengan program posyandu bagi remaja juga diperlukan untuk mengidentifikasi perilaku berisiko hipertensi dan skrining hipertensi pada remaja. Demikian pula perlu dimulai program promotif dan preventif di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas untuk mengukur tekanan darah secara rutin pada anak mulai usia 3 tahun. Tanpa program yang nyata, komprehensif, dan berkesinambungan dalam mengidentifikasi dan mengintervensi faktor risiko hipertensi pada anak dan remaja, maka dalam waktu tidak lama lagi masalah penyakit kardiovaskular akan menjadi masalah utama di Indonesia,” tegas Prof. Partini.

Menjadi sebuah kebanggaan bagi Universitas Indonesia ketika para sivitas akademikanya begitu mencintai almamater dan mencetak banyak prestasi. Dengan bertambahnya peraih gelar Guru Besar, diharapkan dapat memacu semangat sivitas akademika UI lainnya untuk terus berprestasi dan dapat menaikkan nama besar UI di kancah nasional dan internasional.

Related Posts

Leave a Reply