id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Mencari Jawaban Interpretasi Keberagaman di Tengah Hiruk Pikuk Penciptaan Normalitas Baru

Isu identitas dan keberagaman adalah isu global hangat dalam beberapa tahun terakhir. Bahwa Indonesia menjadi terpapar bola panas yang sama pastinya menjadi keniscayaan. Fenomena sosial ini diangkat menjadi tema utama International Symposium Journal Antropologi Indonesia.

Simposium produk Jurnal Antropologi Indonesia UI ini adalah agenda akademik yang pertama kali digulirkan tahun 2000 dengan Universitas Hasanuddin, Makasar, sebagai tuan rumah. Simposium ini memiliki tradisi yang sangat unik. Simposium selalu digelar bergilir di universitas-universitas di Indonesia yang memiliki jurusan Antropologi. Menurut rencana simposium ini akan dibuka dengan Pre-Symposium Lecture yang menghadirkan Guru Besar asal Wageningen University & Research, Prof. Leontine E. Visser pada tanggal 22 Juli 2019, selain juga dilengkapi dengan acara bedah buku (23 dan 24 Juli 2019), serta Festival Budaya pada tanggal 25 Juli 2019.

Berdasar penuturan Dave Lumenta, Ph.D, selaku Ketua Panita, simposium yang sudah berjalan pada edisi ketujuh ini, akan membuka 20 panel topik dan dihadiri total oleh 450 partisipan yang hadir dari 14 negara. ISJAI-7 memaparkan sebanyak 190 hasil penelitian dari 95 lembaga penelitian (72 diantaranya adalah 41 universitas dalam negeri serta 31 universitas luar negeri).

Untuk tahun ini simposium digelar di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta pada tanggal 23 – 26 Juli 2019. Adapun acara ini menurut rencana dibuka oleh Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, namun ngarso dalem berhalangan dan digantikan oleh Sekretaris Daerah. Tak kurang Rektor UGM, Dekan FISIP UI, Dekan FIB UGM juga hadir pada acara ini. Tema besar simposium ini adalah “Penggunaan dan Penyalahgunaan Keragaman: Respon Antropologis terhadap Ancaman Disintegrasi”

Pada sambutan pembukaan simposium, Guru Besar dari University of California, Prof. Anna Tsing , mengingatkan bahwa kita harus mulai memikirkan ancaman keberagaman dalam konteks Anthropocene. Kita harus bergerak cepat dalam memetakan dan memahami bagaimana intervensi manusia dalam mengubah lanskap maupun ekologi bumi. Suka tidak suka intervensi tersebut secara mendasar telah mempengaruhi relasi antar species pada berbagai skala.

Guru Besar Antropologi Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Irwan Abdullah, pun pada kesempatan sama menyatakan pemerintah dan masyarakat saat ini terlalu fokus pada solusi universalis, yang menuntut keseragaman. Tak heran diskriminasi terjadi di segala aspek. Bukan suatu hal aneh ketika sekarang ini terjadi upaya penciptaan nilai-nilai normalitas baru yang berbasis pada sifat diskrimatif dan penyeragaman.

Sementara itu, Webb Keane, Guru Besar asal Universitas Michigan, mengungkapkan masyarakat Indonesia modern lebih mengedepankan kesamaan kolektif, bangsa. Menurut penulis buku “Ethical Life: Its Natural and Social Histories” ini, secara individu masyarakat Indonesia perlu memiliki kesadaran dan kemampuan menjawab pertanyaan seputar latar belakang dirinya.

Individu harus berdamai dengan keunikan latar belakang etnis, agama, jender maupun juga sosial, ekonomi, politik yang membesarkannya. Akhir kata, pertanyaan yang harus dicari jawabnya adalah bukan bagaimana perbedaan memberi kontribusi positif utama kemajuan bangsa. Perbedaan bukan untuk dijauhi maupun dikubur.

Related Posts