iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Anak Yang Tumbuh di Lingkungan “Fatherless” Rentan Terjebak “Toxic Relationship”

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Psikologi > Anak Yang Tumbuh di Lingkungan “Fatherless” Rentan Terjebak “Toxic Relationship”

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah perihal pemberian cuti ayah kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) pria untuk mendampingi istri pascapersalinan. Hak cuti telah menjadi aspirasi banyak pihak, mengingat pentingnya peran ayah pada tumbuh kembang anak terutama pada fase awal kehidupannya. Dra. Ike Anggraika, M.Si., psikolog dan staf pengajar di Laboratorium Life-span Development, Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Indonesia (UI) menekankan bahwa negara perlu membuat kebijakan yang mendukung keluarga.

Ike mengatakan bahwa membuat kebijakan yang mendukung keluarga dapat membantu menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. “Ini termasuk dukungan untuk cuti bagi ayah dan fleksibilitas jam kerja. Negara juga dapat memperkuat program pendidikan yang menyoroti pentingnya peran ayah dalam kehidupan anak-anak. Ini dapat mencakup kampanye kesadaran, seminar, dan program pendidikan yang ditujukan untuk ayah tentang pentingnya keterlibatan aktif dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anak mereka,” kata Ike.

Lebih lanjut Ike menyampaikan berbagai rekomendasi kebijakan tersebut dapat meminimalisir risiko anak tumbuh dalam lingkungan “fatherless”, yakni istilah yang digunakan untuk menggambarkan anak-anak yang dibesarkan tanpa kehadiran seorang ayah dalam keluarga mereka. Menurutnya, Indonesia sangat mungkin termasuk dalam deretan negara dengan tingkat “fatherless” tinggi.

Anak-anak “fatherless” mungkin memiliki ayah, tetapi karena beberapa jenis pekerjaan membuat para ayah harus meninggalkan rumah dalam jangka waktu lama. Beberapa jenis pekerjaan yang mengharuskan ayah bekerja jauh dari rumah, di antaranya pekerja migran, pekerja sektor transportasi/pelayaran, pekerja kontrak/proyek yang harus tinggal di lokasi proyek untuk periode tertentu, dan pekerja sektor informal, seperti buruh bangunan, tukang becak, dan lain-lain.

Ike mengatakan, “Fatherless lebih banyak berkaitan dengan pekerjaan ayah yang jauh dari rumah sehingga hal utama yang perlu dilakukan oleh negara adalah membuka lebih banyak peluang untuk pekerjaan yang stabil dan layak bagi ayah, termasuk menggalakkan pelatihan dan pengembangan keterampilan serta akses yang lebih baik ke pekerjaan formal.”

Selain karena jenis pekerjaan ayah yang harus meninggalkan keluarga cukup lama, anak juga bisa tidak memiliki ayah karena ayahnya meninggal dunia, ayah tidak hadir secara fisik atau emosional dalam mengasuh dan membesarkan anak, atau ayah tidak pernah ada dalam kehidupan anak sama sekali. Dalam beberapa kasus, terdapat ayah biologis yang meninggalkan, menelantarkan, atau tidak mengakui anaknya.

Padahal, kehadiran ayah dalam keluarga berpengaruh secara positif terdahap pertumbuhan dan perkembangan anak. Keberadaan ayah secara stabil dalam kehidupan anak penting bagi perkembangan emosional anak karena dapat memberikan stabilitas, perlindungan, dan rasa aman.

Sebagai tulang punggung keluarga, ayah menyediakan dukungan finansial yang stabil untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi tumbuh kembang anak-anak. Terlibatnya ayah dalam tanggung jawab rumah tangga dan perawatan anak juga membantu meringankan beban istri, memberikan dukungan mental dan emosional yang kuat, serta memungkinkan istri memiliki waktu lebih banyak untuk fokus pada karier atau minat pribadi. Dalam aspek perkembangan anak, kehadiran ayah dapat memberikan stimulus kognitif yang berbeda dari yang diberikan ibu, di antaranya pemecahan masalah, eksplorasi, pemikiran abstrak, pemahaman logika, dan penalaran matematika. Ayah juga berperan mengajarkan kepercayaan diri, pengelolaan emosi, dan norma sosial.

Di lain sisi, anak yang tumbuh dalam keluarga fatherless akan menanggung beberapa dampak psikologis. “Kehilangan atau kurangnya figur ayah sebagai sumber dukungan emosional dan model peran yang kuat dapat memengaruhi kesehatan mental anak secara negatif. Anak-anak yang tumbuh tanpa ayah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakstabilan emosi, kesulitan mengelola emosi, hingga mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku. Anak-anak mungkin mengalami perasaan kurangnya dukungan baik finansial maupun psikologis dengan tidak hadirnya ayah di tengah keluarga,” ujar Ike.

Kehilangan ayah dapat memengaruhi perkembangan kognitif anak sehingga anak menghadapi kesulitan dalam pemecahan masalah dan keterampilan akademis. Kurangnya dukungan emosional dan contoh model peran yang sehat dari seorang ayah juga dapat menghambat perkembangan kecerdasan sosial anak.

Anak-anak mungkin mengalami kepercayaan diri rendah, kesulitan dalam memahami norma sosial dan berinteraksi dengan orang lain, hingga kesulitan membangun hubungan interpersonal yang sehat dengan orang lain. Oleh karena itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan “fatherless” lebih rentan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat atau “toxic relationship”.

Masalah emosional, psikologis, dan sosial yang dirasakan anak akibat hubungan yang buruk dengan ayah juga dikenal dengan istilah “daddy issues”. Ketika tumbuh dewasa, perempuan yang memiliki “daddy issues” mengalami kesulitan dalam membangun hubungan intim yang sehat dan stabil dengan laki-laki, serta muncul ketidakpercayaan pada pria dalam kehidupan mereka. Sementara itu, laki-laki yang mengalami “daddy issues” akan kesulitan membentuk identitas laki-laki dan ragu akan peran laki-laki. Ketiadaan figur ayah bagi anak laki-laki sebagai contoh menjadi suami yang bertanggung jawab, pengasuh yang baik, dan mitra yang setia membuat mereka kesulitan memahami dinamika hubungan pernikahan.

Dengan demikian, guna meminimalkan dampak hidup tanpa ayah, orang dewasa lain yang ada di lingkungan anak dapat melakukan beberapa intervensi. Dukungan emosional yang konsisten serta lingkungan yang aman dan mendukung adalah kunci dalam membantu anak mengatasi dampak “fatherless”. Ibu, bibi, paman, kakek, atau nenek dapat memastikan bahwa anak merasa didengar, dipahami, dan dicintai tanpa syarat.

Meskipun ayah mungkin tidak hadir, usahakan untuk memberikan anak model peran positif lainnya dalam hidup mereka. Ini bisa termasuk anggota keluarga lain, mentor, guru, atau tokoh masyarakat yang bisa memberikan inspirasi dan dukungan.

“Pastikan bahwa anak memiliki hubungan yang kuat dengan figur lain dalam keluarga, seperti ibu, saudara kandung, atau kakek-nenek. Hal ini dapat membantu mengisi kekosongan yang mungkin dirasakan oleh anak akibat ketiadaan ayah. Anak juga perlu didorong terlibat dalam kegiatan sosial seperti klub atau organisasi, serta fokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka. Jika anak mengalami kesulitan yang signifikan dalam mengatasi dampak fatherless, bantuan psikologis profesional dapat menjadi pilihan yang baik. Terapis anak yang berpengalaman dapat membantu anak memproses emosi mereka, mengembangkan keterampilan yang diperlukan, dan mengatasi masalah psikologis yang dialami,” kata Ike.

Related Posts