iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Di Tengah Krisis Iklim, Beralih ke Pekerjaan Hijau Menjadi Keharusan

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Di Tengah Krisis Iklim, Beralih ke Pekerjaan Hijau Menjadi Keharusan

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Suara Mahasiswa (Suma) Universitas Indonesia (UI) memaparkan hasil mini-riset yang dilakukan bersama dengan Yayasan CERAH Indonesia. Hasil mini-riset yang menggambarkan ketertarikan mahasiswa terhadap pekerjaan hijau menunjukkan bahwa 98% anak muda percaya bahwa green jobs memberikan peluang karier yang menarik, kata Pemimpin Redaksi Suma UI, Dian Amalia Ariani.

Menurutnya, ketertarikan anak muda terhadap green jobs tidak terlepas dari kekhawatiran mengenai dampak krisis iklim dan degradasi lingkungan yang makin parah. Saat mencari pekerjaan, mereka tidak hanya mempertimbangkan penghasilan, tetapi juga ingin pekerjaannya berdampak positif bagi lingkungan. Sayangnya, masih banyak hambatan yang dihadapi dalam mengakses green skills. “Informasi tentang pekerjaan hijau saat ini masih kurang atau bahkan tidak dapat diakses,” ujar Dian.

Pada diskusi bertajuk “Pekerjaan Hijau di Mata Anak Muda, Bagaimana Prospek Karier dan Tantangannya” di Ruang Apung Perpustakaan Pusat UI (Sabtu, 11/11) Suma UI juga menghadirkan perwakilan dari pemerintah dan para praktisi lingkungan. Mereka adalah Pelaksana Tugas Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Bappenas, Maliki S.T., M.SIE, Ph.D.; Senior Project Development Manager Akuo Energy, Dallih Warviyan; dan Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan.

Pada kesempatan itu, Maliki menekankan bahwa pekerjaan hijau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Ia menyoroti berbagai manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan hijau, seperti manfaat ekonomi, pengurangan emisi, dan peningkatan lapangan kerja. Menurutnya, kebutuhan industri akan tenaga kerja hijau belum seimbang, sehingga hal itu menjadi peluang bagi anak muda untuk memainkan peran penting dalam menjembatani kesenjangan tersebut.

“Bappenas saat ini sedang menyusun peta jalan pengembangan sumber daya manusia menuju pekerjaan hijau. Dalam menghadapi krisis lingkungan dan iklim, transisi ke pekerjaan hijau diharapkan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari dan menciptakan dampak positif yang signifikan. Ada kekhawatiran bahwa uang di green jobs itu tidak menjanjikan. Untuk sekarang mungkin belum, tetapi untuk 10–15 tahun ke depan karena semua akan green, itu akan lebih kompetitif,” ujar Maliki.

Prospek cerah dari green jobs juga disampaikan oleh Dallih. Menurutnya, green jobs memiliki prospek yang cerah karena adanya berbagai pekerjaan baru yang muncul akibat krisis iklim. Ada banyak pekerjaan hijau yang belum banyak diketahui khalayak, misalnya sustainability manager, wind turbine engineer, solar energy specialist, hingga environmental health and designer. Akan tetapi, ia mencatat bahwa peningkatan green jobs tidak sebanding dengan peningkatan green skills.

“Kebutuhan akan green jobs muncul dari industri baru, juga industri konvensional. Hanya saja, peningkatan green jobs naik 8% dalam durasi 5 tahun (2016–2021), namun tidak dibarengi dengan green skills yang hanya naik 6%. Jadi, demand-nya ada, supply-nya belum mencukupi,” kata Dallih.

Melihat tantangan tersebut, Azis menuturkan pentingnya sinergitas dari lembaga pendidikan dan pemerintah untuk mempromosikan pekerjaan hijau kepada masyarakat. Hal ini karena masih banyak miskonsepsi di kalangan mahasiswa dan masyarakat terkait pekerjaan hijau. Ia mengatakan, “Mahasiswa yang dekat dengan isu lingkungan masih banyak yang miskonsepsi, apalagi kalau kita menyurvei masyarakat umum, pasti lebih banyak lagi. Oleh karena itu, dibutuhkan program peningkatan kesadaran melalui kampanye, serta upaya penguatan melalui peraturan perundang-undangan.”

Diseminasi mini-riset dan diskusi publik mengenai green jobs tersebut merupakan salah satu rangkaian dari acara Klinik Jurnalistik yang diadakan oleh Suma UI. Selain kegiatan tersebut, diselenggarakan pula Pameran Foto Jurnalistik bertajuk “Tersingkir di Balik Berita Populer: Membuka Jalan bagi Jurnalisme Lingkungan yang Berdampak” yang berlangsung pada 11–15 November 2023.

 

Penulis: Dian | Editor: Sasa

Related Posts