iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Fenomena NFT dan Trakteer

Depok, 20 April 2024. Maraknya perbincangan teknologi aset digital yang dikenal dengan Non-Fungible Token (NFT) menjadi sorotan di masyarakat global, termasuk di Indonesia. Fenomena ini dipicu dari keberhasilan Ghozali pada 2021 yang mampu meraih miliaran rupiah melalui NFT sehingga menciptakan gelombang minat yang besar di kalangan masyarakat. Fenomena tersebut turut memicu perlombaan di antara individu untuk menjual aset digital berbentuk gambar atau video dengan harga yang fantastis.

Amril Syalim, S.Kom., M.Eng., Ph.D., CISSP., yang merupakan pakar di bidang cyber security, cryptography, dan cloud computing dari Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) Universitas Indonesia (UI) mengatakan bahwa teknologi berbasis NFT sebelumnya sudah hadir sejak 2012, namun pada saat itu istilah tersebut belum sepopuler seperti sekarang. “NFT dapat dijelaskan sebagai bukti kepemilikan aset digital pada suatu produk, seperti gambar atau video yang dianggap memiliki keunikan tersendiri. Kemudian, bukti kepemilikan tersebut disimpan pada blockchain public sehingga bisa diverifikasi,” ujar Amril.

Mengutip dari buku berjudul “NFT & Metaverse: Blockchain, Dunia Virtual dan Regulasi”, NFT merupakan aset computerized yang merepresentasikan beragam produk berwujud maupun tak berwujud yang dianggap unik, seperti instrumen investasi atau aset pada umumnya, dan memiliki nilai lewat mekanisme pasar. NFT dikenal setelah munculnya NFT Cryptopunks dan Cryptokitties sebagai proyek pionir NFT pada 2017 yang kemudian menjadi sumber inspirasi proyek-proyek NFT di beberapa tahun berikutnya.

Lebih lanjut Amril menyampaikan bahwa NFT menggunakan sistem keamanan pada bukti kepemilikan dapat terjamin dan disimpan pada blockchain, artinya kepemilikannya tidak dapat dipalsukan. Namun yang disimpan hanya bukti kepemilikan, sehingga konten digitalnya dapat disalin, atau dicuri, bahkan diperjualbelikan kembali dengan cara yang lain. Oleh karena itu, NFT belum ada perlindungan terhadap kontennya sendiri.

Dalam perkembangannya, teknologi ini menjadi wadah bagi seorang musisi, aktor, desainer, hingga influencer untuk memungkinan mereka menemukan cara baru untuk mendanai suatu proyek atau keinginannya dengan menggunakan teknologi berbasis NFT. Seperti halnya dengan salah satu influencer di Indonesia yang memanfaatkan perkembangan teknologi ini melalui platform Trakteer.

Trakteer adalah sebuah platform yang mendukung konten kreator untuk mendapatkan bantuan finansial sebagai bentuk penghargaan bagi para penikmat karyanya, “Dengan mem-publish konten pada platform Trakteer, suporter atau para penggemar dapat mendukung kreator dengan cara memberikan unit traktiran terhadap konten yang diunggah, kemudian dapat dicarikan menjadi uang,” ujar Amril.

Unit traktiran tersebut dapat berupa makanan, minuman, atau jajanan untuk mentraktir teman, seperti kopi, es krim, atau pizza sebagai sebuah kiasan yang digunakan untuk memberi atau menerima donasi dengan mata uang Trakteer yang disebut darima (saldo Trakteer). Pembayaran yang digunakan seperti marketplace pada umumnya, yaitu e-wallet (gopay, OVO, dll) dan transfer bank maupun kartu kredit.

Kemudian, Amril juga menambahkan sayangnya pada platform Trakteer tidak dituliskan secara jelas bahwa platform tersebut menggunakan skema NFT. Platform Trakteer menggunakan model crowd-funding atau donasi yang mendapatkan dukungan dengan memberikan “trakteer-an” kepada pemilik konten, tanpa berpindah hak kepemilikan konten kepada penggemar. Berbeda dengan model NFT, konten yang dijual akan menjadi milik pembeli dan bisa diperdagangkan kembali untuk pindah kepemilikan atas produk digital tersebut.

Related Posts