iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Kajian SKSG UI dalam Diskusi “Upaya Kolaborasi Pencegahan Perkembangan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Kajian SKSG UI dalam Diskusi “Upaya Kolaborasi Pencegahan Perkembangan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia (RI), Prof. Irfan Idris, mengatakan bahwa ancaman serangan terorisme global terus mengalami dinamika pelibatan wanita dan anak-anak yang menjadi fenomena memprihatinkan bagi kehidupan kemanusiaan dan kelangsungan perdamaian. Ancaman aksi bom bunuh diri dan serangan bom di negara-negara yang berkonflik dan Indonesia, diharapkan jangan pernah terjadi lagi. Namun, hal ini tetap harus diperhatikan karena banyak pribadi dan kelompok yang terpapar paham radikal, yang menjadikan tafsiran paham keagamaan sebagai alasan legitimasi aksi anarkisme dan ekstremisme mereka.

“Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya perekrutan aksi terorisme, terutama pada generasi muda. Hal tersebut karena generasi muda memiliki militansi yang tinggi, masa depan yang panjang, dan semangat yang tinggi dalam melakukan aksi sesuai kehendak dari kelompok-kelompok radikal,” ujar Prof. Irfan pada diskusi bertajuk “Peringatan 20 Tahun Bom Bali: Perkembangan Terorisme, Kolaborasi Pencegahan, dan Peran Penyintas dalam Mewujudkan Peacebuilding”.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) terbuka untuk umum secara daring melalui platform Zoom Meeting dan Live Youtube, pada Kamis (20/10). Diskusi tersebut mengundang beberapa narasumber, yaitu Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayendra Eka Wardhana, S.H., S.I.K., M.Hum., M.K.P.; Wakil Ketua LPSK, Brigjen. Pol. (Purn) Dr. Achmadi, S.H., M.A.P; Direktur Eksekutif Society Against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Indonesia, Dete Aliah; dan penyintas Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), Suyanto.

Menurut Kepala Program Studi Kajian Terorisme, M. Syauqillah, Ph.D., keterlibatan korban penyintas dibutuhkan dalam kontra narasi kerangka peacebuilding. Melalui Peringatan 20 Tahun Bom Bali, masyarakat diharapkan mampu melakukan pencegahan secara efektif dan optimal terhadap aksi-aksi terorisme. “Kita bisa memformulasikan keterlibatan penyintas dalam kerangka peacebuilding agar kampanye tidak hanya untuk kontra narasi, tetapi juga untuk deradikalisasi. Keterlibatan semua stakeholder dalam upaya pencegahan aksi terorisme dan radikalisme bisa dilaksanakan bersama-sama dan menjadi agenda penting yang bisa didorong dalam memperhatikan dua sisi, baik dari korban maupun pelaku,” ujar Syauqillah.

Terkait proses pencegahan dan pananggulangan ekstremisme dari sudut pandang Densus 88, AKBP Mayendra Eka Wardhana mengatakan bahwa saat ini global terrorism index masih menempatkan Indonesia di zona orange pada level 24 negara yang rentan terhadap terorisme. Namun, dengan penanggulangan terorisme yang semakin baik, profesional, dan mengedepankan hukum dan HAM, Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang menjadi role model dalam kehidupan beragama. Pada era teknologi informasi dan komunikasi saat ini, media sosial dapat digunakan untuk memberikan sebuah perspektif dalam mengkaji secara paradigma doktrin daripada radikalisme atau terorisme.

Selain itu, upaya-upaya dalam memberikan layanan perlindungan dan sensitivitas terhadap korban juga perlu diperhatikan. Brigjen. Pol. (Purn) Dr. Achmadi mengatakan, sensitivitas masyarakat harus dibangun dalam melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas hidup melalui berbagai kerja sama. Dengan demikian, hak-hak korban, khususnya dalam konteks sosial, dapat dipenuhi. Dalam mewujudkan peacebuilding, kerja sama dan dukungan dari berbagai stakeholders penting untuk mewujudkan hubungan atau situasi yang harmonis, sinergis, dan terjalin secara berkelanjutan.

Sebagai perwakilan penyintas, Suyanto membagikan pengalamannya setelah menjadi korban tragedi Bom Bali. Menurutnya, tragedi tersebut tidak hanya berdampak bagi dirinya, tetapi juga bagi keluarga. Ia juga mengalami kerugian secara fisik, psikologis, dan ekonomi. Suyanto bersyukur karena pemerintah memberi bantuan berupa pemulihan fisik dan bantuan psikologis berupa dukungan dari sekitar. Ia dan rekan-rekannya akhirnya membentuk Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dalam mengampanyekan pencegahan radikalisme.

Diskusi tentang kolaborasi pencegahan dan peran penyintas dalam upaya pencegahan terorisme yang diselenggarakan SKSG UI penting dilakukan agar peristiwa serupa (Bom Bali) tidak terjadi lagi. Dete Aliah menyebutkan, terorisme memberikan banyak dampak bagi korban, baik secara langsung maupun tidak langsung. “Adanya kerja sama dari berbagai stakeholders diharapkan dapat mencegah strategi-strategi baru, terutama yang menggunakan kekerasan dari individu dan kelompok radikalisme atau terorisme,” kata Dete Aliah.

Related Posts