iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Kebebasan Berekspresi dalam Tekanan Regulasi di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Kebebasan Berekspresi dalam Tekanan Regulasi di Indonesia

Depok, 9 Agustus 2023. Pengaturan internet di masyarakat demokratis memiliki signifikansi dalam menjaga keberlangsungan ruang publik (public sphere) yang demokratis. Namun, dalam praktiknya, pengaturan internet di sebuah negara seringkali menjadi arena kontestasi dinamis yang melibatkan pemerintah, lembaga legislatif, partai politik, lembaga bisnis, media, dan masyarakat sipil. Dari proses tarik menarik antara berbagai pihak tersebut, berpotensi menjadikan legislasi yang dihasilkan dapat menjadi sarana untuk melakukan kriminalisasi dan pembungkaman kebebasan berekspresi.

Hal ini disampaikan Devi Tri Indriasari saat memaparkan disertasinya yang berjudul “Kebebasan Ekspresi dalam Tekanan Regulasi: Studi Terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)” pada sidang terbuka promosi doktor yang diadakan oleh Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI). Penelitian Devi bertujuan untuk menguji tiga proposisi terkait regulasi internet di Indonesia dan implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).  

Dari penelitian yang dilakukan Devi, didapatkan beberapa kesimpulan di antaranya tidak ada bukti yang cukup untuk menjelaskan latar belakang dimasukkannya sejumlah pasal bermasalah ke dalam UU ITE pada 2008. Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semula menyiapkan RUU ITE untuk menertibkan transaksi bisnis elektonik dan pornografi yang saat itu semakin marak. Namun di saat terakhir, dimasukkanlah pasal-pasal yang mengandung semangat otoritarian.  

Selanjutnya, setelah UU tersebut disahkan dan dijalankan, Devi menyampaikan bahwa tidak ada juga bukti yang menunjukkan baik pemerintah (pusat) dan DPR memanfaatkan pasal-pasal tersebut untuk kepentingan mereka. Dalam banyak kasus, yang menggunakan UU ITE adalah sesama masyarakat, perusahaan, kelompok agama, dan para pemimpin agama.  

Temuan berikutnya adalah sejak kelahiran UU ITE, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi secara aktif mengkritisi kelahiran UU ITE beserta pasal-pasalnya. Masyarakat sipil sejak awal sudah mampu menduga ancaman bahaya pasal-pasal bermasalah dalam UU tersebut.  

Lalu, dalam penelitian ini ditemukan bahwa sikap pemerintah secara perlahan berubah. Bila pada 2016, pemerintah menganggap bahwa UU ITE tidak mengandung kelemahan substansial yang melemahkan demokrasi, pada 2021 cara pandang pemerintah berubah. Terakhir, Devi menemukan bahwa yang nampaknya belum berubah adalah DPR. Di dalam DPR hadir banyak partai-partai politik yang memiliki sikap berbeda-beda, namun demikian tidak terlihat ada tanda-tanda bahwa DPR akan mengikuti langkah pemerintah untuk menulis ulang UU ITE. 

Related Posts