id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Kebinekaan sebagai Modal Kekuatan Bernegara di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Kebinekaan sebagai Modal Kekuatan Bernegara di Indonesia

Kamis (16/2/2017), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI bekerja sama dengan Alumni Angkatan 77 FISIP UI menggelar talkshow bertajuk “Bhinneka Indonesia: Modal Sosial Bernegara” di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI.

Talkshow ini digelar dalam rangka mendiskusikan paparan hasil survei nasional Wahid Foundation dengan Lembaga Survei Indonesia di 34 provinsi di Indonesia pada tahun 2016, sekaligus menjadi bagian dari rangkaian kegiatan dies natalis FISIP UI ke-49.

Pemaparan hasil survei yang diberi judul “Memperkuat Kebhinekaan Indonesia” dijabarkan langsung oleh Yenny Wahid sebagai Direktur Wahid Institute. Dalam pemaparannya, Yenny memaparkan banyak data yang menarik terkait kondisi intoleransi di Indonesia.

Ia memulai pemaparan dengan pernyataan bahwa peningkatan kasus-kasus intoleransi agama bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga telah menjadi fenomena dunia.

“Isu Suku Ras Agama dan Antar golongan (SARA) saat ini banyak menjadi alat kampanye politik dimana batas-batas moralitas menjadi sangat cair ketika sudah bersinggungan dengan politik kekuasaan. Contoh nyatanya adalah naiknya Trump di Amerika Serikat dan isu anti-Islam di Myanmar dan Perancis saat ini,” ujar Yenny.

Di Indonesia, peningkatan gerakan intoleransi tercermin dalam hasil survei Wahid Institute yang menyatakan ada sekitar 12 juta muslim di Indonesia yang bersedia menjadi radikal, 600 ribu jiwa telah atau pernah terlibat radikalisme, dan 73,5 juta jiwa muslim punya intoleran terhadap perbedaan.

Menurutnya, ada 10 jenis kelompok masyarakat yang biasanya menjadi sasaran kebencian di Indonesia, yaitu LGBT (26,1%), Komunis (16,7%), Yahudi (10,6%), Kristen (2,2%), Syiah (1,3%), Wahhabi (0,5%), Budha (0,4%), Cina (0,4%), Katolik (0,4%), dan Konghucu (0,1%).

Di dalam pemaparannya juga terdapat beberapa karakteristik penyebab seseorang menjadi radikal, dua di antaranya adalah banyak terpapar informasi keagamaan yang berisi kecurigaan dan kebencian, serta memahami agama hanya secara literalis.

“Banyak kasus intoleransi terjadi di dunia hanya karena ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar,” tambahnya.
Namun, masih menurut hasil survei, angka-angka menunjukkan bahwa angka toleransi bangsa secara umum masih tinggi untuk tetap menegakkan nilai kebebasan beragama dan demokrasi.

72% masyarakat menolak tindakan radikal dengan kekerasan atas nama agama, 88,37% melindungi pemikiran yang berkembang di masyarakat, 82,3% menyatakan Pancasila & UUD sesuai dengan Indonesia, dan 67,3% mendukung demokrasi.

Ia menyatakan bahwa Indonesia masih mempunyai formula ajaib dalam menjawab tantangan intoleransi dan radikalisme ini, yaitu prinsip Pancasila, UUD 1945, dan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang telah ada turun-temurun.

Peran serta pemerintah juga masih sangat diperlukan, terutama dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku hate speech serta kampanye penanaman nilai-nilai Pancasila di masyarakat.

Selain itu, ia juga mendorong organisasi-organisasi besar Islam di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk berperan aktif dalam menyebarkan nilai-nilai multikulturalisme dan toleransi yang tidak bertentangan dengan nilai–nilai Islam.

Penulis : Wanda Ayu

Related Posts

Leave a Reply