id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Kerentanan Kelas Ekonomi Menengah Indonesia

Kelas menengah kita memang meningkat pesat, kemiskinan menurun. Namun ada beberapa hal yang penting diperhatikan.

Pertama, studi Bank Dunia (2018) menunjukkan: pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah berhasil menurunkan persentase penduduk miskin dan penduduk “yang rentan miskin” (vulnerable). Tak hanya itu, “kelas menengah” tumbuh sebesar 10 persen per tahun dalam periode 2002-2016.

Bagaimana kita mendefinisikan “kelas menengah”? Dari segi pendapatan, jenis pekerjaan atau hal lain? Selain itu ia tidak memiliki satu kohesi politik yang bisa merepresentasikan perilaku politiknya.

Saya tak berminat untuk masuk dalam debat tersebut. Lebih baik bila saya merujuk kepada kelas konsumen berdasarkan pengeluaran. Bank Dunia (2018) membuat definisi sebagai berikut: “kelas menengah” adalah mereka yang pengeluaran per kapita per harinya 7,5-38 dollar AS per hari (2016 PPP adjusted term).

Di atas itu ada kelompok “kelas atas” (upper class). Dan di bawah “kelas menengah”, ada kelompok “calon kelas menengah” (Aspiring Middle Class/AMC), yaitu mereka yang pengeluarannya per kapita per harinya 3,3-7,5 dollar AS. Lalu kelompok vulnerable yang pengeluarannya antara 2,2-3,3 dollar AS dan kelompok miskin (di bawah 2,2 dollar AS ) per hari.

Kedua, apa dampak kenaikan “kelas menengah” bagi ekonomi kita? Hukum Engle menunjukkan: sejalan dengan kenaikan pendapatan per kapita, porsi pengeluaran non makanan akan semakin besar terhadap total pengeluaran.

Konsumsi akan bergeser dari “kebutuhan” (seperti makanan), kepada “keinginan” (non makanan). Ini yang menjelaskan mengapa sejalan dengan kenaikan “kelas menengah”, penjualan mobil, motor, telepon seluler, rumah naik tajam. Jangan heran bila permintaan terhadap jasa pendidikan, kesehatan, rekreasi, gaya hidup, industri kreatif akan luar biasa di masa depan.

Ketiga, walau “kelas menengah” terus berkembang, mereka masih rentan pada gejolak ekonomi. Bank Dunia menunjukkan: di Indonesia, hanya 50 persen dari mereka yang telah menjadi “kelas menengah” di tahun 2000, mampu untuk bertahan sebagai “kelas menengah” di tahun 2014. Sedangkan 40 persen sisanya turun menjadi Aspiring Middle Class, dan 10 persen lainnya malah kembali menjadi kelompok miskin atau rentan miskin pada tahun 2014.

Apa artinya? Kelas menengah juga rentan terhadap gejolak ekonomi. Ironisnya: Indonesia, dan juga banyak negara di dunia, tak punya program khusus untuk kelas menengah. Itu sebabnya anak muda di samping saya cemas.

Ribuan pencari kerja memenuhi lantai satu perbelanjaan Blok M Squared, Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Pemerintah di banyak negara di dunia selama ini fokus untuk memberikan perlindungan bagi kelompok miskin. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk membantu kelas menengah ini?

Kita harus pikirkan dengan baik. Salah satu kebijakan yang mungkin bisa dimanfaatkan adalah kartu pra kerja, atau cash for traning di mana pekerja dilatih untuk meningkatkan produktivitasnya ketika ia mempersiapkan diri dalam pekerjaan berikutnya.

Ketiga, walau pertumbuhan ekonomi berhasil menurunkan penganggur muda (15-24 tahun), dari 22 persen (2014) menjadi 20 persen (2018), namun persentase penganggur muda yang berpendidikan SMA ke atas meningkat cukup tajam.

Artinya: pertumbuhan ekonomi yang terjadi tak sepenuhnya menyerap kelompok usia muda yang berpendidikan SMA ke atas. Mengapa? Mungkin tak terlalu banyak lapangan kerja dengan upah layak yang tersedia.

Atau mungkin, karena meningkatnya ekspektasi akan pekerjaan. Padahal seperti dikatakan oleh sejarawan Niall Ferguson dari Harvard University, penganggur muda terdidik adalah salah satu sumber ketidakpuasan kelas menengah. Yang kita butuhkan saat ini bukanlah sekadar penciptaan lapangan kerja, tapi lapangan kerja yang layak (decent jobs).

Implikasi ekonomi politik

Keempat, di sinilah soal ekonomi politik menjadi amat relevan. Penganggur muda terdidik —juga keresahan kelas menengah— bila tak diatasi dengan baik, bisa berubah menjadi masalah politik.

Sejauh ini kondisi di Indonesia dan ASEAN masih relatif baik. Namun tak ada ruang untuk berpuas diri. Kita juga tahu: munculnya “kelas menegah” baru membawa implikasi ekonomi dan politik.

“Kelas menengah” adalah professional complainer yang tekun. Mereka punya ekspektasi yang tinggi untuk kualitas pelayanan jasa publik yang baik. Sejauh ini, mereka memang hanya bertindak sebagai pengeluh profesional, belum menjadi agen perubahan.

Namun, terlalu pagi untuk menyimpulkan bahwa perannya tak ada. Bukan tak mungkin keluhan, atau ketidakpuasan ini kemudian ditransmisikan dalam bentuk keresahan publik.

Di sini saya kira, munculnya kelas menengah atau kelas konsumen baru, bisa menjadi penekan secara politik, bila pemerintah dan politisi tak berbenah diri untuk pemerintahan yang adil dan bersih —untuk jasa publik yang baik.

Penulis:

(Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)

Sumber : Harian Kompas 10 Januari 2020

Related Posts