id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Mencari Jejak Distributor Film Indonesia dan Mempertanyakan Ekshibitor

Universitas Indonesia > Berita > Mencari Jejak Distributor Film Indonesia dan Mempertanyakan Ekshibitor

Movie Screening_Ilustration

Industri perfilman melibatkan sejumlah pihak mulai dari produksi, distribusi, dan ekshibisi. Permasalahan industri perfilman Indonesia, salah satunya menyangkut kehadiran peran distributor yang tidak optimal. Masalah peran distributor tersebut juga mengarah kepada persoalan peran ekshibitor.

Departemen Ilmu Komunikasi UI menyabet kesempatan membahas permasalahan tersebut dengan menyelenggarakan Diskusi Film bertemakan “Mencari Jejak Distributor, Mempertanyakan Ekshibitor” di Auditorium Gedung Komunikasi UI pada Jumat lalu (2/12/2016).

Diskusi turut mengundang sutradara dan produser “Maryam” (2014) Sidi Saleh, peneliti industri film Ade Armando, dan Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) Sheila Timothy, dengan moderator Krisnadi Yuliawan selaku kritikus film dan pemilik Pabrikultur.com.

Sheila Timothy, yang berbagi perannya dalam perfilman Indonesia melalui telepon, mengatakan bahwa permasalahan distributor di negara maju sebenarnya bukan anomali. Memegang tanggung jawab dalam investasi film, Sheila membagi investasi film dalam dua jenis, yaitu investasi untuk pengembangan dan distribusi.

Investor keduanya berbeda, tapi bisa saja investor yang sama menanam investasi pada keduanya. Distribusi film tidak hanya bergantung pada bioskop sebenarnya. Sheila menyebut TV berbayar, free-air TV, hingga kereta api dan airlines sebagai alternatif distribusi film. Selain itu, penting untuk memerhatikan platform distribusi luar negeri yang berusaha memanfaatkan  pasar Indonesia, seperti Iflix, Netflix, atau Hulu. 

Menurut Sidi Saleh, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dan selalu diincar oleh pembuat film luar negeri, dibuktikan dengan film-film Hollywood yang selalu masuk lebih dulu di Indonesia dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.

Bagi Sidi, yang menjadi heboh sekarang bukan lagi tentang bagaimana membuat film, melainkan berpikir akan dijual ke mana film-film tersebut. Hal tersebut menjadikan industri film saat ini tidak sesederhana dahulu. Ade Armando memaparkan riset penonton film Indonesia yang pernah dilakukannya.

Tidak kaget, generasi muda Indonesia dapat dikategorikan sangat jarang menonton film Indonesia. Ketika upaya menelusuri faktor-faktor data tersebut, ternyata tidak hanya terletak pada kemungkinan rendahya jumlah produksi film Indonesia. Justru menurut riset, tingginya jumlah film Indonesia tidak diikuti dengan meningkatnya penonton Indonesia terhadap film tersebut.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan layar dan jumlah bioskop di Indonesia. Membandingkan dengan Korea, China, apalagi Amerika Serikat, Indonesia masih sangat tertinggal.

Akan tetapi jumlah layar juga bukan menjadi faktor utama yang menyebabkan rendahnya penonton Indonesia. Ditemukan ketersediaan layar dan bioskop yang terkonsentrasi hanya di Pulau Jawa lah yang memberi dampak cukup signifikan terhadap jumlah penonton Indonesia. Lantas apa yang dapat disimpulkan?

Baik Sidi Saleh, Krisnadi, maupun Ade Armando sepakat bahwa ketika distributor ada dan perannya maksimal, belum tentu masalah industri film selesai. Yang ditekankan kemudian adalah membahas masalah industri film tidak bisa melihat dari aspek distribusi atau ekshibisi saja dan menutup mata terhadap peran pemerintah.

Ketiganya menggarisbawahi pentingnya pemerintah untuk sadar dan memprioritaskan industri film dengan kemudahan-kemudahan, seperti mengumumkan dan mengolah data-data perfilman Indonesia.

Mengenai konten, Sidi Saleh menambahkan, “Nggak ada film yang nggak bagus. Kamu tinggal cari market-nya.”, yang berarti kembali menguatkan pandangannya bahwa kesulitan dalam produksi film terletak pada penjualannya. 

 

Penulis: Ayu Larasati   

Related Posts

Leave a Reply