id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Doktor FISIP UI Tawarkan 5 Model Ideal Pelayanan Kepolisian Terhadap Korban Kejahatan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Doktor FISIP UI Tawarkan 5 Model Ideal Pelayanan Kepolisian Terhadap Korban Kejahatan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual

Depok, 16 Januari 2024. Berdasarkan data yang terhimpun dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) 2022, kasus kekerasan seksual di Indonesia berada di urutan teratas, yaitu 11.016 kasus. Di urutan kedua adalah kekerasan fisik dengan 9.019 kasus, diikuti kekerasan psikis (8.524 kasus), penelantaran (2.718 kasus), trafficking (443 kasus), dan eksploitasi (256 kasus). Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), selama 12 tahun pada periode 2001-2012 sedikitnya setiap hari ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Pada tahun 2022, Komnas Perempuan melalui data yang dirilis pada 7 Maret 2023, melaporkan ada 457.895 kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Aruma Chandra Dewi, Mahasiswa program Doktoral di Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), tertarik mengangkat topik tersebut menjadi disertasinya yang berjudul “Victim Oriented Humanistic Policing sebagai Model Ideal Pelayanan Kepolisian Terhadap Korban Kejahatan Kekerasan dan Kekerasan Seksual serta Pencarian Model Aplikatif Bagi Indonesia (Komparasi Studi Kasus Kepolisian Indonesia, Jepang, dan Selandia Baru)”. Aruma menyampaikan, dalam banyak kasus, alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, korban justru menjadi korban berulang atau repeat victimization saat menghadapi pertanyaan yang menyudutkan, tidak empati, hingga melecehkan.

Lebih lanjut, semua hal yang mengemuka tentang masalah-masalah di seputar korban kejahatan kekerasan seksual (KKS) ini, pada akhirnya memunculkan pertanyaan tentang bentuk pelayanan yang ideal bagi korban KKS. Tidak saja tentang rasa keadilan setelah menjadi korban kejahatan, namun juga mekanisme pelayanan korban, sikap penyelidik atau penyidik, dan hal-hal yang berkaitan agar tidak terjadi repeat victimization.

Oleh karena itu, Aruma mengatakan bahwa diperlukan sebuah rumusan model ideal untuk kepolisian dalam memberikan pelayanan terhadap korban KKS, yaitu melalui pendekatanvictim oriented policing (VOP) dan victim impact statement (VIS). Untuk membuat rumusan model ideal tersebut, Aruma melakukan komparasi studi kasus pada Kepolisian Indonesia, Kepolisian Jepang dan Kepolisian Selandia Baru. Sejauh mana hasil komparasi model pemolisian di tiga negara itu dapat menjadi dasar untuk dibentuknya model ideal VOP dan VIS bagi Kepolisian Indonesia.

Melalui metode komparasi tiga negara tersebut, Aruma menemukan model victim oriented humanistic policing (VOHP) dan VIS yang berbasis konsep model pemolisian baru yang terdiri dari lima pendekatan implementatif yang holistik, untuk memastikan keberhasilan dan optimalisasi layanan terhadap korban kekerasan. Ke lima pendekatan tersebut, di antaranya (1) pendampingan berkelanjutan; (2) keterampilan wawancara praktis; (3) advokasi; (4) pemberdayaan teknologi dan; (5) kemitraan strategis. Ia beranggapan bahwa pemolisian di masa depan tidak lagi berfokus pada pengendalian dan pencegahan kejahatan, namun memastikan pemenuhan hak, kesejahteraan korban, dan pemulihan martabatnya dalam sistem peradilan pidana.

Pada pendampingan berkelanjutan, dilakukan sejak dimulainya laporan hingga pasca persidangan, karena hal ini diyakini menciptakan rasa aman, memunculkan kekuatan untuk pemulihan, menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan korban terhadap polisi. Kemudian, dalam melakukan wawancara dibutuhkan keterampilan ketika menginterogasi (mewawancarai) korban, pelaku atau yang menjadi perhatian dalam penanganan perkara. Penyidik dengan keterampilan wawancara yang memadai mengetahui pertanyaan apa yang tepat untuk diajukan dan bagaimana meminta mereka untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat sehingga dapat membuka tabir kejahatan.

Selanjutnya, melakukan advokasi untuk memfasilitasi hak-hak korban sejak awal perkara ditangani. Keberadaan penasihat hukum secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya viktimisasi sekunder dan menemukan keadilan bagi para korban, dengan memberdayakan mereka dengan agen hukum dan memberi dukungan emosional selama proses peradilan pidana.

Sementara itu, dalam pemanfaatan teknologi dapat digunakan sebagai instrument yang memudahkan layanan korban dan mempercepat proses penanganan perkara. Teknologi juga dapat difungsikan untuk tujuan integrasi data, monitoring, pemetaan, dan platform komunikasi yang menghubungkan korban dengan kepolisian. Lalu, dengan melakukan kemitraan strategis, dimaksudkan konsep networked policing yang dapat menjadi dasar pembentukan jaringan Lembaga yang berorientasi pada korban. Dalam hal ini, adanya kemungkinan keterlibatan mitra strategis dengan lembaga lain dalam memfasilitasi dan mengintegrasikan kerja kepolisian.

Kelima konsep teoretik ini menekankan fokus transformasi bagi penegak hukum untuk mencegah terjadinya viktimisasi primer maupun sekunder ketika menangani korban. Pada kesimpulannya, penelitian ini menawarkan model ideal VOHP dan model aplikatif VIS bagi Polri yang berlandaskan humanisme. Menempatkan korban sebagai inti dari pelayanan kepolisian, terutama pada konteks pelayanan bagi korban kejahatan kekerasan di Indonesia.

Sidang promosi doktor yang dilaksanakan pada Senin (8/1) tersebut, diketuai oleh Prof. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes, Ph.D.; dan dipromotori oleh Prof. Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, Ph.D., beserta kopromotor, Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., M.Si. Sementara itu, dewan penguji terdiri atas Komjen Polisi (Purn) Prof. Dr. Gatot Eddy Pramono, M.Si.; Brigjen Pol. Dr. Rinny Shirley Theresia Wowor, S.Psi., M.Psi.; Heru Susetyo, S.H., LLM., M.Si., Ph.D.; Dr. Dra. Ni Made Martini Puteri, M.Si.; dan Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A.

Related Posts