iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Guru Besar FKM UI Kaji Pentingnya Penerapan Safe and Responsible Use of Chrysotile pada Industri Fiber Semen di Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Kesehatan Masyarakat > Guru Besar FKM UI Kaji Pentingnya Penerapan Safe and Responsible Use of Chrysotile pada Industri Fiber Semen di Indonesia

Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., mengukuhkan Prof. Dr. Ir. Sjahrul Meizar Nasri, M.Sc. sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI dalam Bidang Ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), pada Rabu (04/10), di Balai Sidang, Kampus UI Depok. Prof. Sjahrul resmi dikukuhkan setelah menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Pencegahan Risiko Kesehatan secara Paripurna sebagai Nilai Tambah pada Penerapan Sistem Safe and Responsible Use of Chrysotile (SRUC) pada Industri Fiber Semen di Indonesia”.

SRUC merupakan program yang dilaksanakan secara international untuk keamanan dan kesehatan pada penggunaan chrysotile. SRUC diterapkan pada seluruh proses kerja, mulai dari penambangan bahan material, penyimpanan bahan material, proses produksi, penyimpanan setelah menjadi produk, transportasi, hingga penggunaan oleh end-user. Prof. Sjahrul menyebut bahwa penting untuk menyempurnakan metode Safe and Responsible Use agar manajemen risiko kesehatan yang komprehensif dan menyeluruh dapat direncanakan dan diterapkan dari hulu sampai hilir pada proses Industrialisasi Chrysotile Fiber.

Penyempurnaan program SRUC dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal, yakni penerapan masa pakai produk, prosedur saat kegiatan pembongkaran produk, sosialisasi kepada masyarakat pemakai, monitoring dan evaluasi secara kontinu oleh instansi terkait, serta rekomendasi program SRUC menjadi salah satu elemen penilaian kinerja perusahaan (Key Performance Indicator).

Penyempurnaan metode manajemen risiko SRUC merupakan solusi atas persaingan ekonomi–politik terkait status penggunaan chrysotile. Ada kelompok negara yang menginginkan chrysotile dilarang atau minimal masuk dalam daftar “Bahan-Bahan Kimia yang Telah Dipilih untuk Pemberian Izin (Prior Informed Consent/PIC) Annex III”. Sementara itu, ada pula negara-negara pemakai chrysotile yang tetap ingin mempertahankan Industrialisasi Chrysotile Fiber tanpa harus memasukkannya dalam daftar PIC-Annext III.

Prof. Sjahrul mengatakan bahwa penerapan PIC dalam Annex III Rotterdam Convention sejatinya sesuai dengan tujuan untuk mereduksi risiko keselamatan dan kesehatan yang berpotensi terjadi selama proses impor/ekspor, proses industri, serta tahapan di masyarakat. Hal ini sejalan dengan keilmuan yang berorientasi pada manajemen risiko dalam bidang K3 yang telah dan terus dikembangkan oleh para dosen di Departemen K3 FKM UI. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, implementasi PIC-Annex III tidak selalu sesuai dengan tujuan utamanya.

Para pihak yang menolak chrysotile dimasukkan ke dalam PIC-Annex III khawatir akan terjadi politisasi oleh negara-negara yang berbeda pendapat. Menurut mereka, jika chrysotile dimasukkan dalam PIC-Annex III, proses ekspor/impor menjadi sulit serta biaya impor/ekspor menjadi tinggi. Akibatnya, harga produk tidak dapat bersaing di pangsa pasar internasional dan nasional. Selain itu, proses impor/ekspor juga berpotensi tidak dapat dilakukan karena negara-negara yang menjadi lokasi transit menerapkan regulasi tertentu.

Oleh sebab itu, sejak Rotterdam Convention (RC) 3rd Meeting of the Conference of the Parties (COP-03) tahun 2005 hingga RC COP-12 tahun 2023 dilaksanakan, chrysotile tidak pernah disepakati masuk dalam PIC-Annex III. Para pihak yang bersepakat tersebut mengembangkan program untuk memitigasi risiko, yaitu SRUC. Mereka mampu mereduksi potensi risiko keselamatan dan kesehatan hingga ke tingkat risiko yang rendah, baik pada proses penambangan, produksi di industri, serta transportasi.

Menurut Prof. Sjahrul, kesehatan merupakan aspek utama dan pertama yang harus menjadi prioritas bangsa, tetapi bukan dengan cara melarang, ataupun membatasi hal-hal yang akan mengakibatkan hilangnya nilai ekonomis suatu produk, sehingga menjadi tidak mempunyai nilai jual. “Kita harus mengubah mindset dan melihat permasalahan lebih comprehensive secara helicopter view, yaitu dengan mempertimbangkan aspek-aspek ekonomi, politik, keuangan, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional,” ujarnya.

Prof. Sjahrul menambahkan bahwa dengan pencegahan risiko kesehatan secara paripurna, hal tersebut dapat memberi nilai tambah pada penerapan SRUC. Ini merupakan cara bijak dalam memberikan perlindungan kepada konsumen dan keberlangsungan industrialisasi fiber cement di Indonesia. Maka dari itu, industri fiber cement dapat dijalankan tanpa harus mengorbankan aspek keselamatan dan kesehatan, maupun aspek perdagangan nasional-internasional.

Penelitian terkait penerapan SRUC pada industri fiber semen di Indonesia ini merupakan satu dari banyaknya penelitian yang dilakukan oleh Prof. Sjahrul. Beberapa di antaranya adalah The Risk Factors for Musculoskeletal Symptoms During Work From Home Due to the Covid-19 Pandemic (2023), PM2.5 Exposure and Lung Function Impairment among Fiber-Cement Industry Workers (2023), dan The Prevalence of Bad Posture and Musculoskeletal Symptoms Originating from the Use of Gadgets as An Impact of the Work from Home Program of the University Community (2022).

Prof. Dr. Ir. Sjahrul Meizar Nasri, M.Sc. menyelesaikan pendidikan Sarjana Teknik Lingkungan di Institut Teknologi Bandung pada 1982; memperoleh gelar Master Science in Hygiene di University of Pittsburgh, PA, USA, tahun 1988; dan mendapat gelar Doktor di Program Studi Epidemiologi FKM UI pada 2005. Saat ini, Prof. Sjahrul menjabat sebagai Kepala UPT Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan UI sekaligus Ketua Penasehat Indonesia Industrial Hygiene Association (IIHA).

Prosesi pengukuhan guru besar Prof. Sjahrul turut dihadiri oleh Senior Expat Trade Representative of the Russian Federation in the Republic of Indonesia, Timur Efremov; Sekretaris Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional, Kementerian Perindustrian, Jonni Afrizon, S.E., M.M.; Direktur Bina Kelembagaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Binwasnaker dan K3, Kementerian Ketenagakerjaan, Hery Sutanto, S.T., M.M.; serta Medical Services Director International SOS Indonesia, Dr. Hari Wibowo.

Related Posts