id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Jalur Sutra Baru: Mencermati Kebangkitan Cina

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Jalur Sutra Baru: Mencermati Kebangkitan Cina

Penulis: Alfin Heriagus

Program Studi (Prodi) Kajian Wilayah Amerika (KWA) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) menggelar seminar daring bertajuk “Jalur Sutra Baru: Mencermati Kebangkitan Cina dan Reaksi Amerika Serikat”. Acara webinar ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Dr. Muhammad Fuad, M.A. (dosen KWA SKSG UI), Julian A. Pasha, M.A., Ph.D. (Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP UI), dan Moch. Faisal Karim, Ph.D, (dosen Hubungan Internasional Universitas BINUS), dengan moderator dosen Prodi Cina FIB UI, Adi Kristina Wulandari, M.Hum.

Athor Subroto S.E., M.M., M.Sc., Ph.D., Direktur SKSG UI, dalam kata sambutan mengatakan bahwa saat ini Cina dan Amerika Serikat terus berkompetisi dalam hal memperebutkan “Jalur Sutra Baru”. Menurutnya, dalam konteks modern, Jalur Sutra adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebut suatu jalur perdagangan yang sangat sibuk karena merupakan titik persilangan perdagangan antar berbagai negara di dunia.

Salah seorang narasumber, Muhammad Fuad, mengatakan bahwa pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an terjadi deindustrialisasi di Amerika Serikat yang dampaknya masih terasa hingga saat ini, yang kemudian muncul inisiatif/gagasan “Belt and Road Initiative” (BRI) oleh Cina. Ia menjelaskan deindustrialisasi Amerika adalah keruntuhan sektor industri Amerika yang terjadi pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an.

Industri, yang merupakan tulang punggung kemunculan Amerika Serikat dan menjadi kekuatan dunia pada awal abad ke-20, hampir semuanya runtuh –seperti baja, mobil, ban, tekstil, alat-alat rumah tangga, elektronik, dan perabot rumah tangga. Deindustrialisasi menciptakan “Rust Belt” di wilayah Northeast dan Midwest, juga penutupan pabrik-pabrik industri yang terdampak di wilayah lain, seperti Chicago dan Los Angeles.

Cina justru mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu raksasa manufaktur dunia, sedangkan Amerika Serikat kini menjadi pasar terbesar produk-produk Cina. “Motor utama yang mendukung BRI adalah manufaktur Cina yang kuat dan volume produksi yang besar. Sementara itu, basis ekonomi Amerika telah bergeser dari manufaktur ke industri servis,” ujar Muhammad Fuad di akhir pemaparannya.

Narasumber berikutnya, Julian, membahas pengaruh BRI-Cina terhadap konstelasi politik dan ekonomi global, serta reaksi dan strategi Amerika menghadapi BRI. Ia menyampaikan bahwa dalam konteks masa lalu, jalur sutra adalah jalur perdagangan yang ada sejak 200 tahun Sebelum Masehi –saat Dinasti Han berjaya. Jalur tersebut selalu dilewati oleh para pedagang dari seluruh dunia yang membawa barang sutra keliling ke daratan Cina dan kemudian meluas menjadi beberapa negara di luar Cina seperti Asia Tenggara, sebagian di Arab (Persia), East Africa, dan Southern Europe. “Jalur Sutra Baru Cina mencakup dua aspek, yaitu New Silk Road Economic Belt (daratan) dan Century Maritime Silk Road (lautan),” ujarnya menjelaskan.

Lebih lanjut, Faisal sebagai narasumber ketiga melengkapi paparan dari narasumber sebelumnya, yaitu menyampaikan implikasi BRI terhadap Asia Tenggara dan bagaimana BRI dipandang sebagai bagian dari persaingan antara Amerika Serikat dan Cina. Sebagai negara-negara superpower, Jalur Sutra adalah salah satu potensi dalam bidang ekonomi yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Kondisi ini menyebabkan timbulnya kompetisi atau persaingan perdagangan di antara keduanya. Saat ini dalam usahanya untuk membentuk Jalur Sutra baru, Cina telah menggandeng negara-negara Asia dan Afrika melalui mekanisme kerja sama infrastruktur.

Kebangkitan Cina pada Jalur Sutra baru merupakan salah satu kebijakan luar negeri dari negara “middle power” yang memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang dapat mengancam tatanan internasional yang didominasi Amerika Serikat. Sebagai penutup, Faisal Karim mengatakan bahwa dalam konstelasi politik internasional, saat ini posisi Amerika Serikat masih berada di atas Cina. “Namun dengan kondisi ekonomi Cina yang terus membaik dan berkembang, tentu ini secara militer dan ekonomi akan membawa posisi yang tidak bagus bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Dinamika antar kedua negara ini yang harus kita waspadai karena akan membawa dampak ekonomi yang besar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia,” ujar Faisal Karim.

Related Posts