id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Well-Being, Kunci Kesehatan Mental di Masa Pandemi

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Well-Being, Kunci Kesehatan Mental di Masa Pandemi

Penulis: Satrio Alif

Pada Sabtu (17/7), Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan webinar dengan tema Well-being Guru, Dosen, dan Mahasiswa di Masa Pandemi secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting. Dalam kegiatan ini, Dosen Fakultas Psikologi UI sekaligus anggota laboratorium cognition, affect, and well-being, Dr. Dyah T. Indirasari, M.A., Psikolog hadir sebagai presenter utama memaparkan hasil penelitian yang dilakukan tim Psikologi UI.

Dengan jumlah partisipan penelitian sebanyak 5817 orang yang terdiri dari 2910 guru, 256 dosen dan 412 mahasiswa, hasil penelitian menunjukkan bahwa guru dan dosen puas terhadap kehidupannya saat ini. Sedangkan, mahasiswa berada di dalam kategori agak puas yang artinya diperlukan intervensi dari pihak eksternal untuk meningkatkan kepuasan hidupnya. Selain itu, guru, dosen, dan mahasiswa memiliki emosi positif yang tinggi. Hanya saja, mahasiswa memiliki kecenderungan emosi negatif yang tinggi pula. “Hal ini mencerminkan mahasiswa rentan terhadap kecemasan, depresi, dan rasa stres yang dapat mengganggu kesehatan mentalnya,”ujar Dyah.

Dengan menggunakan metode diskusi panel, webinar ini menghadirkan Sekretaris Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Psikologi UI, Dr. Imelda Ika Dian Oriza, M.Psi., Psikolog dan Dr. S.R. Pudjiati, M.Si., Psikolog selaku pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) sebagai penanggap pemaparan dari tim riset. Dalam kesempatan tersebut, Dian menyatakan bahwa well-being merupakan kunci dari terbentuknya mental yang sehat.

Well-being dapat mempengaruhi kesehatan mental karena emosi positif yang dihasilkan seseorang akan membuat kondisi mentalnya lebih baik dan optimis. Beliau melanjutkan paparannya dengan menggarisbawahi temuan yang menarik dari penelitian tersebut tentang kondisi mahasiswa yang memiliki energi negatif yang cukup tinggi. Kondisi emosi negatif tersebut menurut beliau akan mempengaruhi well-being mahasiswa yang akan menentukan kesehatan mentalnya.

“Dalam hemat saya, tingginya emosi negatif mahasiswa dikarenakan masa transisi yang tengah dialami mahasiswa dari masa remaja ke masa dewasa. Mahasiswa dituntut harus mampu  beradaptasi dengan kebebasan yang baru dimilikinya di masa kuliah dan perubahan kondisi sosial yang mereka temui ditambah dengan kondisi pembelajaran yang sangat berbeda saat ini. Akibatnya adalah mahasiswa mengalami rasa kecemasan yang tinggi dan rentan menderita depresi,” terang Dian.

Untuk mengatasi rasa kecemasan tersebut, Dian menyatakan diperlukan dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai dari dosen, universitas, maupun orang tua. Sebab, mahasiswa meskipun sudah mulai beranjak dewasa tetap memerlukan bimbingan untuk menemukan jati dirinya yang nantinya akan meningkatkan resiliensi dan well-being mereka. “Dukungan dari universitas melalui penyediaan layanan konseling, pemahaman dari dosen dalam kegiatan belajar mengajar dengan tidak memberikan tekanan pada mahasiswa, dan peran orang tua di rumah sebagai subjek tempat mahasiswa bercerita merupakan kunci untuk mengatasi potensi rasa kecemasan mahasiswa, ” kata Dian.

Related Posts