iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Kecintaan pada Alam Bawa Jatna Supriatna Menjadi Pahlawan Lingkungan

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Matematika dan IPA > Kecintaan pada Alam Bawa Jatna Supriatna Menjadi Pahlawan Lingkungan

Depok, 13 November 2023. Prof. Drs. Jatna Supriatna, Ph.D. adalah dosen sekaligus peneliti di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia (UI) yang dikenal sebagai “pahlawan lingkungan”. Predikat tersebut diberikan kepadanya sejak 1999 saat ia menerima penghargaan Golden Ark Award dari Pangeran Bernhard asal Belanda. Prof. Jatna dianggap telah berjasa dan berkontribusi besar terhadap lingkungan hidup, terutama di bidang konservasi alam.

Berawal dari kecintaannya terhadap alam, Jatna remaja—saat itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas—gemar sekali mendaki gunung dan berkemah. Tempat tinggalnya di Tasikmalaya mendukung untuk menjelajahi gunung-gunung yang ada di daerah Jawa Barat. Dari situlah ketertarikannya pada keilmuan alam, seperti geologi, biologi, zoology, dan antropologi, muncul. Ia pun mantap memilih biologi sebagai bidang keilmuan yang digeluti.

Saat menempuh pendidikan sarjana, Prof. Jatna mendapat kesempatan untuk melakukan riset tentang orang utan di Kalimantan. Selama delapan bulan ia tinggal di tengah hutan bersama peneliti lainnya. “Tempat penelitiannya jauh sekali, ada di tengah hutan. Untuk menuju kampung, butuh waktu kira-kira 1 jam perjalanan dengan perahu. Tapi, itulah yang membuat saya jatuh cinta pada bidang ini. Dari pengalaman itu, saya belajar banyak mengenai hutan, mengenai penduduk asli orang dayak, dan masih banyak lagi,” ujarnya menggambarkan pengalaman ketika itu.

Seolah didukung oleh semesta, kecintaan pada bidang zoology membuka berbagai peluang bagi Prof. Jatna untuk makin menekuni bidang ini. Ia pernah bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan terlibat dalam penelitian di Sulawesi, Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Ia juga mendapat tawaran untuk mengajar di Departemen Biologi FMIPA UI yang berlangsung hingga saat ini. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan masternya pun datang. Ia memilih Amerika Selatan, dan melakukan riset selama berbulan-bulan di Hutan Amazon. Sementara itu, untuk program doktornya, ia memilih melakukan riset di Sulawesi bersama para mahasiswanya.

“Primatology saat itu adalah bidang yang masih jarang ditekuni, sehingga saya lebih banyak melakukan kajian ke luar negeri untuk memperoleh ilmu tentang primata. Wild life conservation atau konservasi hewan liar yang saya pelajari meliputi orang utan, lutung, monyet, dan berbagai spesies lainnya. Saat ini, ilmu itu lebih dikenal dengan istilah biologi konservasi,” kata Prof. Jatna.

Dari pengalaman melakukan riset di berbagai negara, Prof. Jatna menyadari bahwa ilmu konservasi alam dapat dipelajari dan diterapkan secara global. Menurutnya, kondisi geografis negara yang berbeda-beda membuat ilmu seseorang terbatas. Oleh karena itu, diperlukan konferensi internasional sebagai media untuk bertukar ilmu antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ia menekankan, “Kita sebagai orang Indonesia tentu lebih memahami kondisi geografis negara tropis daripada orang-orang di negara empat musim, begitu juga sebaliknya. Jika kita menekuni kekhasan ini, tentu kita akan menjadi ahli di bidangnya.”

Menurutnya, relasi dengan peneliti di universitas terbaik dunia perlu dijalin mengingat pentingnya riset bersama sebagai jalan untuk menemukan solusi atas permasalahan biodiversitas. Demi membangun relasi ini, ia bahkan telah mengunjungi 70 negara untuk mengkaji konservasi alam di dunia. Yang menarik, ia menjadikan “kunjungan ke Taman Nasional” sebagai salah satu syarat jika ia diundang untuk mengisi konferensi di sebuah negara. “Saya pernah pergi ke Bogota di Kolombia. Saya diminta untuk memberi materi tentang biodiversitas Indonesia. Saya bilang boleh, tapi fasilitasi saya untuk datang ke taman-taman nasional di sana,” ujar Prof. Jatna sambil tertawa.

Prof. Jatna menyebut bahwa upaya konservasi ini bukan berarti tidak mendatangkan uang. Justru banyak manfaat ekonomi yang dihasilkan dari konservasi alam. Taman Nasional yang dibangun dapat dijadikan ecotourism yang dapat mendatangkan peluang ekonomi pariwisata masyarakat setempat. Selain itu, penyerapan karbon dunia juga sangat bergantung pada hutan Indonesia.

Ia mengatakan, “Potensi Indonesia untuk karbon sekitar 600 billion dollars. Bayangkan, kalau kita konservasi, yang kita jual bukan kayu dan sebagainya, tetapi daya serap hutan kita atas karbon. Sekarang harga karbon sudah 10–20 dollar/ton. Selain itu, semua makanan dan obat-obatan berasal dari alam. Kalau kita tidak menjaga alam kita, orang lain akan datang dan mengambil materi yang kita punya.”

Ide-ide terkait konservasi alam dituangkan oleh Prof. Jatna dalam 20 buku mengenai lingkungan dan konservasi, serta lebih dari 150 paper bereputasi internasional. Kontribusinya ini telah membawanya menerima berbagai penghargaan, yakni Habibie Award (2008), Terry MacManus Award (2010), Achmad Bakrie Awards (2011), Lifetime Achievement from Conservation International (2017), dan yang terbaru The Bosscha Medal 2023. Bahkan, nama Prof. Jatna telah dijadikan sebagai takson untuk beberapa spesies, di antaranya, Tarsius supriatnai, Draco supriatnai, dan Cyrtodactylus jatnai.

Related Posts