iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Keterwakilan Perempuan dalam Perpolitikan Indonesia

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik > Keterwakilan Perempuan dalam Perpolitikan Indonesia

Depok, 4 Juli 2023. Partisipasi perempuan dalam dunia politik Indonesia pasca-reformasi tahun 1998 telah mengalami perubahan signifikan. Kuota minimal 30% bagi perempuan dalam kepengurusan partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, dan pencalonan anggota legislatif, telah dimplementasikan di Indonesia, namun target keterwakilan perempuan dalam lembaga politik belum tercapai sepenuhnya. Hal ini menjadi topik bahasan pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) yang bertajuk “25 Tahun Reformasi: Quo Vadis Keterwakilan Politik Perempuan?” pada Selasa (20/6) lalu. 

Direktur Puskapol FISIP UI, Hurriyah, S.Sos, IMAS., mengatakan bahwa diskusi mengenai keterwakilan politik perempuan di Indonesia sangat terkait dengan perjalanan Indonesia melakukan reformasi politik. “Dibandingkan di level ASEAN, Indonesia diurutan ke-lima dari sebelas negara lainnya, jumlahnya 21% ini angka di parlemen saja. Tetapi, jika dilihat lebih jauh lagi ternyata ada kondisi yang memperlihatkan gap yang terlalu besar,” ujar Hurriyah. 

Ia menjelaskan, keterwakilan perempuan di level daerah Indonesia hanya sekitar 16% pada 2021. Angka ini lebih kecil dibandingkan negara Laos yang mencapai 32% dan Vietnam dengan angka 29%. Hurriyah, yang juga dosen di FISIP UI, menyampaikan bahwa ada kesamaan dari negara-negara ASEAN, yaitu faktor kebijakan kuota yang sangat berperan sangat penting dalam mendorong peningkatan ketahanan keterwakilan politik perempuan. 

Sementara itu, menurut Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) Diah Pitaloka, S.Sos, M.Si, di level regulasi harus dicermati, sebagai komitmen terhadap pelaksanaan undang-undang yang kemudian diturunkan dalam berbagai aturan. “Saya khawatir masyarakat agak skeptis, lelah dan tidak terlalu antusias dengan narasi-narasi demokrasi, tapi lebih masuk ke dalam narasi yang praktis. Politik menjadi sangat praktis yang menurut saya harus dicermati sebelum membicarakan maju mundurnya affirmative action,” ujarnya. 

Diah menjelaskan affirmative action yang menarik adalah sebuah narasi yang tidak hanya diperjuangkan tapi juga diwariskan kepada generasi baru. Setiap generasi mempunyai perspektifnya dan concern masing-masing terhadap isu yang berbeda-beda.  

Dikutip dari dpr.go.id, kebijakan afirmasi (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik setelah berlakunya perubahan UUD 1945, dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Ketentuan lebih lagi dalam affirmative action adalah adanya penerapan zipper system 

Dalam diskusi yang dilaksanakan secara daring ini, turut hadir sebagai pembicara Anggota KPU RI Periode 2012-2017) Dr. Ida Budhiati, S.H, M.H., dan Anggota Bawaslu RI Periode 2008-2012 Wahidah Suaib. Diskusi ini dapat dilihat kembali pada link berikut https://www.youtube.com/watch?v=0J-oETWKCmM&t=907s 

Related Posts