id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Memahami Fenomena Badai Sitokin pada Pasien COVID-19

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Memahami Fenomena Badai Sitokin pada Pasien COVID-19

Penulis: Alfin Heriagus

Rabu (01/09) Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) menggelar seminar edukasi daring “Ask the Expert” dengan topik “Badai Sitokin, Ancaman Pasien COVID-19”. Kegiatan ini diselenggarakan secala live melalui instagram @rs.ui. Tujuan seminar ini adalah untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat guna menghindari adanya hoaks yang beredar terkait badai sitokin dan COVID-19.

Pada kesempatan ini, dr. Adityo Susilo, Sp.PD(K) (Dokter Spesialis Penyakit Dalam) menjadi narasumber “Ask the Expert”dengan moderator dr. Raka Aldy Nugraha (Dokter Umum RSUI). Sebagai awalan, dr. Adityo menjelaskan bahwa badai sitokin adalah kondisi ketika tubuh melepaskan zat-zat tertentu dalam jumlah yang sangat besar untuk menghadapi serangan eksternal, berupa bakteri atau virus. Respon berlebihan oleh tubuh ini dapat menyebabkan suatu peradangan yang kemudian berpotensi merusak fungsi organ-organ internal seseorang.

Ia mengatakan, bahwa tidak semua penderita COVID-19 akan mengalami badai sitokin. “Namun, bila penderita COVID-19 mengalami badai sitokin, itu artinya mereka sedang mengalami fase inflamasi yang berat, sehingga perlu kita waspadai,” ujar dr Adityo. Pada umumnya, pasien yang mengalami badai sitokin akan mengalami demam, sakit, dan tentunya penurunan saturasi oksigen.

Pada masa periode badai sitokin ini, saturasi oksigen akan menurun hingga di bawah 90%. Artinya, bila pasien tidak mengalami demam hebat dan pernafasan masih baik, maka pasien tersebut belum dikategorikan badai sitokin. Saturasi oksigen adalah parameter dasar apakah seseorang sedang mengalami badai sitokin atau tidak.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa peradangan yang hebat dan tidak terkontrol adalah salah satu pemicu yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih besar ketika badai sitokin sedang berlangsung pada pasien. Kerusakan jaringan inilah yang nantinya akan menyebabkan demam dan penurunan fungsi paru-paru. Pemantauan menggunakan oksimeter merupakan hal penting untuk melihat perkembangan saturasi oksigen pada pasien COVID-19.

Dikatakan penting karena pada kondisi ini bisa saja pasien mengalami apa yang disebut dengan happy hypoxia. Happy hypoxia merupakan kondisi penurunan kadar oksigen di dalam tubuh yang tidak menimbulkan gejala. Pada kondisi ini, seseorang tidak mengalami sesak nafas bahkan biasa-biasa saja meskipun sedang mengalami penurunan oksigen. Oleh karena itu, oksimeter ini patut menjadi acuan untuk mendeteksi adanya kondisi badai sitokin pada tubuh seseorang.

Adityo bercerita, selama menangani pasien COVID-19, badai sitokin pada seseorang dapat dilihat dari riwayat kesehatan setiap individu, baik dari faktor usia, kondisi obesitas, dan riwayat penyakit kronik yang dideritanya. Pada pasien obesitas, tentunya akan lebih berisiko mengalami badai sitokin karena akan mudah terkena inflamasi. “Meskipun individu mengalami faktor-faktor risiko tersebut, namun bukan berarti mereka pasti akan terkena badai sitokin. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki faktor risiko tersebut, bukan berarti tidak akan terkena badai sitokin. Semua kembali ke imun tubuh setiap individu, karena pertahanan imun setiap individu tentunya berbeda-beda,” ujarnya. Dengan kata lain, faktor-faktor risiko ini hanyalah sebuah prediksi, bukan merupakan suatu indikator kepastian seseorang terkena badai sitokin atau tidak.

Saat penjelasan materi, dirinya mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam program vaksinasi pemerintah guna menghindari adanya fenomena badai sitokin. Penggunaan vaksin COVID-19 seperti Astra Zeneca, Sinovac, Pfizer, Moderna, dan Sinopharm sangat penting dalam upaya penanganan pandemi. Masyarakat juga harus memahami bahwa setiap jenis vaksin memiliki kriteria penerima vaksin yang berbeda satu dengan yang lainnya. Seperti vaksin Pfizer yang diperuntukkan hanya untuk anak usia 12 hingga 17 tahun, ibu hamil, atau seseorang yang direkomendasikan oleh dokter.

Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat perlu menjaga daya tahan tubuh mereka agar terhindar dari penularan COVID-19 maupun badai sitokin. Untuk mendukung daya tahan tubuh tersebut, tentunya membutuhkan asupan nutrisi yang sehat. Kebutuhan nutrisi ini terdiri dari makro nutrien dan mikro nutrien. Karbohidrat, protein, dan lemak adalah jenis makronutrien yang baik dikonsumsi oleh masyarakat, sedangkan jenis mikronutrien yang baik adalah vitamin dan mineral. Baik makro maupun mikro nutrien penting kita konsumsi secara teratur guna menjaga pola hidup menjadi sehat dan seimbang.

Terakhir, dirinya mengingatkan agar masyarakat untuk tidak termakan hoaks yang beredar di sosial media. Bila menemukan informasi yang bersifat penting, namun kebenarannya masih diragukan, sebaiknya masyarakat perlu menggali informasi lebih lanjut untuk mengetahui kebenarannya. Menggali informasi ini bisa melalui sumber internet yang valid atau bertanya kepada rekan yang memiliki kompeten atau ahli pada bidang tersebut sehingga masyarakat dapat terhindar dari adanya hoaks yang beredar.

Related Posts