id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Paradoks Penegakan Hukum dalam Penanganan Terorisme antara Perlindungan HAM dan Perlindungan Warga Negara

Universitas Indonesia > Berita > Paradoks Penegakan Hukum dalam Penanganan Terorisme antara Perlindungan HAM dan Perlindungan Warga Negara

IMG_8877

Kamis (18/02/2016), Universitas Indonesia bekerja sama dengan Nusantara Center menyelenggarakan seminar dengan tajuk “Penegakan Hukum Setelah Reformasi: Paradoks Penegakan Hukum dalam Penanganan Terorisme antara Perlindungan HAM dan Perlindungan Warga Negara”.

Hadir dalam acara tersebut Wakil Rektor UI yaitu Prof. Bambang Wibawarta, Direktur Kemahasiswaan UI, Dr. Arman Nefi, S.H., M.H., sejumlah pakar seperti Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Adrianus Meliala, Prof. Bambang Pranowo serta mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai.

Terorisme merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang menyita perhatian publik sejak awal tahun 2000-an silam. Adanya rencana untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemberantasan terhadap Tindak Pidana Terorisme pun semakin gencar dibahas, terutama pasca-ledakan bom di Thamrin, Jakarta beberapa waktu lalu.

Al-Araf yang juga menjadi salah satu pembicara mengatakan bahwa agenda revisi UU Anti-Terorisme seharusnya lebih pada upaya menjaga perlindungan HAM di dalamnya dan bukan memberikan kewenangan yang berlebihan dan ekstensif kepada aparat negara mengingat UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah memberikan kewenangan yang luas dan berlebihan kepada aparat negara.

Dalam sesi yang sama, Prof. Bambang Pranowo mengatakan dalam melakukan agenda pemberantasan teroris, aparat jangan sampai abai dalam memberikan dan menjamin perlindungan HAM ketika melakukan pemeriksaan terhadap pelaku karena ada yang namanya asas praduga tidak bersalah dan mereka memiliki apa yang disebut hak ingkar tersangka.

Bambang mengungkapkan hal itu karena di lapangan dia mendapat pernyataan narapidana teroris yang menyatakan saat diperiksa dia mengalami kekerasan fisik bahkan ada yang ditelanjangi, jika ini dibiarkan maka akan menjadi sumber dendam, katanya.

Selain itu, terkait dengan perlindungan HAM pada saat penanganan terorisme juga beredar berbagai anggapan masyarakat, salah satunya mengenai jangka waktu pemeriksaan dalam penetapan tersangka. Pendapat yang menyatakan pemeriksaan dalam penetapan tersangka dari 7 hari menjadi 30 hari adalah pelanggaran HAM dibenarkan oleh Adrianus.

Oleh karena itu, menurutnya dibutuhkan payung hukum agar apa yang ditengarai sebagai pelanggaran HAM tidak menjadi demikian. Dibutuhkan juklak/juknis yang mencegah aparat menangkap orang berdasarkan info amat mentah dan kemudian menekannya dalam kurun waktu penetaan 30 hari tersebut.

Pada akhirnya, pemberantasan terorisme merupakan pekerjaan rumah bagi seluruh bangsa Indonesia. Tidak hanya Polri, namun semua elemen masyarakat memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberantas kejahatan luar biasa ini, dimulai dari rasa toleransi, sikap saling harga-menghargai serta perlunya menjaga kepedulian sesama masyarakat.

 

Penulis : Kelly Manthovani

Related Posts

Leave a Reply