Kekerasan seksual yang berujung pada kematian santri, dalam beberapa pekan ini menjadi pemberitaan media massa. Pesantren sejatinya merupakan kawasan untuk memeroleh pendidikan, juga tempat berlindung serta pengayom, bahkan berperan sebagai “pengganti” keluarga atau orang tua bagi para santri.
Sosiolog sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Dr. Ida Ruwaida, S.Sos., M.Si., menilai perlu secara kritis meninjau pola pengasuhan yang diterapkan di pesantren, hingga kekerasan seksual bisa terjadi. Pada dasarnya, kekerasan seksual di pesantren mungkin bisa ditemui di institusi pendidikan lainnya. Namun, karena pesantren adalah lembaga pendidikan agama, tindak kekerasaan yang terjadi lebih disorot.
Menurut Dr. Ida, ada kecenderungan bahwa tindak kekerasan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial. Studi menunjukkan pelaku kekerasan umumnya berlatar keluarga yang akrab dengan kekerasan. Kecenderungan ini bisa terjadi di pesantren, mengingat lama mukim santri/santriwati relatif tahunan. Artinya, ketika pesantren menoleransi dan akrab dengan kekerasan—apa pun dalih atau alasannya, termasuk untuk mendisplinkan santri—kekerasan akan menjadi bagian dari keseharian. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya membudaya, tetapi juga menjadi karakter santri selama mondok, bahkan setelah lulus.
Dr. Ida menyebutkan setidaknya ada empat faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren. Pertama, kultur atau tradisi pesantren yang paternalistik. Budaya atau tradisi pesantren cenderung menempatkan sang kyai atau tokoh sebagai figur sentral, rujukan, atau bahkan role model. Kepatuhan pada kyai menjadi bagian yang ditanamkan sehingga bersikap kritis akan dianggap menyimpang hingga diyakini menjadi sumber dosa.
Para santri mengedepankan kepatuhan karena muncul keyakinan (belief) bahwa sang kyai merupakan “wali Tuhan” di muka bumi. Cara pandang ini melandasi terbangunnya pola asuh satu arah, berorientasi pada sang Tokoh, dan cenderung otoriter.
Kedua, adanya anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran. Sebagian pesantren menggunakan kekerasan sebagai bentuk punishment bagi para santri yang melanggar aturan. Tujuan penghukuman adalah agar para pelanggar merasa jera. Namun, yang sering terjadi justru punishment lebih dikedepankan daripada unsur pendidikannya. Artinya, hikmah hukuman tidak dipahami santri, termasuk hakikat dan fungsi/manfaat ditegakkannya aturan. Dengan kata lain, para santri mengikuti aturan bukan karena menyadari dan menginternalisasi (menghayati) arti penting aturan, melainkan karena takut pada hukuman yang diterima jika melanggarnya.
Faktor ketiga yang memicu terjadinya kekerasan di pesantren adalah dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan literasi kemanusiaan. Solidaritas sering kali dimaknai sebagai membela atau mendiamkan kawan meskipun salah bersikap dan berperilaku, termasuk pada pelaku kekerasan. Oleh karena itu, perlu ada edukasi kepada seluruh multipihak, yaitu pengajar, pendamping, para santri, dan orangtua/wali, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang melahirkan lulusan yang bukan hanya menjadi ahli agama yang religius, melainkan juga seseorang yang bertoleransi positif, berintegritas, dan humanis. Salah satunya ditandai dengan spirit bahwa pesantren merupakan area yang menolak kekerasan, apa pun bentuknya.
Faktor terakhir pemicu kekerasan di lingkungan pesantren adalah minimnya pemahaman tentang keberagaman. Pesantren bukanlah area yang homogen. Setiap santri memiliki latar belakang sosial ekonomi, wilayah tinggal, watak dan karakter, serta latar budaya yang beragam. Mendidik dan mengasuh santri dengan latar belakang berbeda tentu menjadi tantangan tersendiri. Perlu dilihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai “cross cutting affiliation”. Dengan demikian, keberagamaan dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren.
Terjadinya kekerasan di pesantren seolah kontraproduktif dengan pendekatan yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. dalam membangun karakter umat, yakni dengan sikap terbuka, persuasif, lembut, bijak, dan humanis. Tindak kekerasan di pesantren bisa dihindari dan dicegah karena Islam memiliki spirit anti kekerasan. Pesantren sebagai institusi pendidikan merupakan salah satu agen sosialisasi. Bahkan, bagi santri yang bermukim bertahun-tahun, apalagi sejak lulus sekolah dasar/sederajat, pesantren menjadi agen sosialisasi primer.
Artinya, pola pembelajaran dan pola asuh di pesantren sangat berkontribusi besar pada pembentukan karakter santri. Hal ini berbeda dengan institusi pendidikan non-pesantren yang siswanya berada di sekolah selama 6–10 jam per hari.
Tidak ada rumus atau model baku terkait pola asuh dalam pesantren karena setiap pesantren memiliki kekhasan, keunikan, dan keberagaman. Jika merujuk pada fungsi pengasuhan, pendekatan yang digunakan berangkat dari asumsi bahwa pesantren adalah keluarga atau orang tua kedua santri.
Pesantren berfungsi mendidik, melindungi, mengayomi, dan memberdayakan santri, bukan memanfaatkan, apalagi mengeksploitasi. Pengelola pesantren perlu paham bahwa santri masih tergolong anak-anak (12–19 tahun) sehingga hak-hak anak perlu dihargai, dipenuhi, dan dilindungi.
“Pesantren merupakan agen sosialisasi antisipatoris karena tidak hanya menyiapkan pendakwah, tetapi juga calon-calon tokoh dan pemuka agama. Oleh sebab itu, pesantren selayaknya mendidik dan mengajarkan para santri agar memiliki jiwa ketokohan atau kepemimpinan yang kuat, tidak goyang karena ombak, tidak lapuk karena zaman, dan tidak lupa akar budaya ke-Indonesiaan-nya. Para satri juga harus mampu mengendalikan emosi, kreatif, mandiri, berintegritas, dan inklusif,” kata Dr. Ida.
Dr. Ida menambahkan, karakter seperti itu hanya bisa dibangun dari pesantren yang tokoh, kyai, guruguru, dan para pengelolanya mampu menjadi role model atau rujukan bagi anak didiknya. Pola asuh yang mengedepankan “keteladanan” sudah berhasil ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Merujuk Teori Peran dan Teori Pembelajaran Sosial, pengamatan dan pengalaman merupakan sumber belajar yang ampuh dalam membangun “konsep diri” dan karakteri diri.
“Selain itu, perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pendidikan dan pengasuhan di pesantren dengan melibatkan stakeholders strategis. Usulan ini tidak mudah pada tataran implementasi karena aparat negara dan masyarakat terkadang segan dan enggan pada figur kyai,” kata Dr. Ida.