iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Studi Memori Kolektif Mantan Tapol Perempuan G30S–1956

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya > Studi Memori Kolektif Mantan Tapol Perempuan G30S–1956

Promosi Doktor Amurwani Dwi Lestariningsih:
Studi Memori Kolektif Mantan Tapol Perempuan G30S–1956 dalam Kehidupan Masyarakat 1968–2019

Pada 1979, seluruh tahanan politik perempuan 1965 Golongan B dibebaskan dari penahanan. Pemerintah membuat program re-edukasi mental dan ideologi serta pembekalan keterampilan agar mereka dapat kembali berdampingan dengan masyarakat. Akan tetapi, upaya adaptasi ini sering kali dibalas dengan penolakan, baik dari keluarga maupun masyarakat umum. Mereka pun menjadi pribadi yang tertutup dan cenderung menyembunyikan identitas.

Setelah Reformasi 1998, mantan tahanan politik perempuan mulai membuka diri dan berbaur dengan masyakarat. Mereka membangun jaringan dan kelompok sebagai organisasi perlawanan serta membangun positioning baru untuk mengubah stigma negatif yang selama ini melekat. Sejak saat itu, para mantan tahanan politik mulai aktif memperjuangkan hak-hak sipilnya.

Pada masa reformasi, Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU-KKR) yang digagas pemerintah ditolak para mantan tahanan karena mengandung pasal yang dianggap merugikan. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan permohonan maaf kepada para mantan tahanan politik, serta menyampaikan perlunya rekonsiliasi nasional, namun upaya ini gagal. Para mantan tahanan politik kemudian mengajukan class action agar mereka mendapatkan rehabilitasi nama baik dan kompensasi ganti rugi, tetapi upaya ini kembali gagal.

Para mantan tahanan politik perempuan kemudian membentuk tiga organisasi untuk membangun identitas diri melalui narasi tandingan. Narasi tandingan ini didasarkan pada memori kolektif dan pengalaman bersama. Ketiga organisasi tersebut adalah Wanodja Binangkit (WB) dan Paduan Suara Dialita di Jakarta, serta Kiprah Perempuan (Kipper) di Yogyakarta. Melalui lagu dan pertunjukan seni, mereka menyampaikan narasi baru kepada generasi muda dan masyarakat tentang peristiwa G30S 1965 dari sudut pandang yang berbeda. Mereka melakukan perlawanan tidak dengan kemarahan, tetapi dengan kelembutan dan kasih sayang.

Dalam disertasinya yang berjudul “Adaptasi dan Perlawanan: Studi Memori Kolektif Mantan Tahanan Politik Perempuan G30S–1956 dalam Kehidupan Masyarakat 1968–2019”, Amurwani Dwi Lestariningsih melihat sebab para mantan tahanan politik perempuan mempertahankan identitas mereka melalui narasi tandingan dalam tiga organisasi. Menurut Amurwani, ingatan kolektif dapat digunakan sebagai metode untuk menggali sumber sejarah yang tidak terdapat dalam arsip dan dokumen. Menggali ingatan kolektif bisa membawa pada pandangan baru karena emosi, perasaan, dan pandangan individu para mantan tahanan politik dapat terlihat.

Tiga organisasi yang dibentuk para mantan tahanan politik menampilkan hal yang berbeda. Wanodja Binangkit dimanfaatkan untuk mengartikulasikan diri melalui pementasan kesenian khas Sunda Cianjuran. Organisasi ini menolak diasosiasikan sebagai kelompok sisa organisasi perempuan terlarang, yaitu Gerwani. Sementara itu, Dialita adalah gerakan kultural ideologis yang tampil melalui paduan suara. Simpatisan Dialita dipenuhi kaum muda. Banyak musisi muda yang mengaransemen ulang lagu mereka. Selanjutnya, Kipper. Sesuai filosofinya, Kipper adalah penjaga ideologi yang mempertahankan keyakinan para mantan tahanan politik. Organisasi ini bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang menghimpun dukungan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah.

Kegiatan yang mereka adakan mendorong mereka untuk dapat berbaur dengan masyarakat dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial sebagai strategi adaptasi dan keluar dari stigma negatif. Bagi mereka, sejarah bukan hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi menjadi titik tolak bagi munculnya memori baru yang dijadikan sebagai sumber sejarah baru di masa depan. Hal ini merupakan bagian dari penerapan konsep struggle for recognition.

Bagi generasi muda, narasi tandingan yang disosialisasikan mantan tahanan politik perempuan merupakan narasi utama yang membentuk memori mereka. Pada akhirnya, narasi tersebut diterima sebagai kebenaran. Lagu-lagu yang dibawakan Dialita, misalnya, menunjukkan kasih sayang, kelembutan seorang ibu, perasaan rindu kepada anak, dan juga semangat revolusioner untuk dapat kembali menikmati kehidupan bebas. Hal ini mendorong generasi Milenial akhir dan generasi Z awal terus mencari informasi tentang peristiwa G30S 1965.

“Rekonstruksi identitas dilakukan untuk menanggalkan stigma negatif yang diterima para mantan tahanan politik perempuan. Artikulasi identitas yang dilakukan oleh para mantan tahanan ini telah menghasilkan suatu trajektori baru dalam sejarah ‘orang-orang yang terlupakan dan tersisihkan’. Bahwa telah muncul narasi baru tentang eksistensi mereka dalam bentuk artikulasi identitas, citra diri, ataupun memori yang baru,” kata Amurwani.


Berkat penelitiannya, Amurwani Dwi Lestariningsih berhasil mendapat gelar Doktor di Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI) dengan predikat cumlaude. Turut hadir dalam sidang tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (PMK RI), Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P.; Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D.; serta segenap jajaran dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kemenko PMK, Arsip Nasional Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara RI, dan Perpustakaan Nasional RI.

Sidang Promosi Doktor yang dilaksanakan di Gedung I FIB UI, pada Senin (9/1), diketuai oleh Prof. Dr. Agus Aris Munandar dengan Promotor Prof. Dr. Susanto Zuhdi dan Ko-Promotor Dr. Linda Sunarti. Adapun Tim Penguji dalam sidang meliputi Dr. Abdurakhman; Prof. Melani Budianta, Ph.D.; Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum.; Prof. Dr. Clemens Six; dan Prof. Iwan Gardono Sudjatmiko, Ph.D.

Penulis: Sasa

Related Posts