id sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Urgensi Sastra dalam Diplomasi Publik untuk Peroleh Pengakuan Kemerdekaan RI

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya > Urgensi Sastra dalam Diplomasi Publik untuk Peroleh Pengakuan Kemerdekaan RI

Urgensi Sastra dalam Diplomasi Publik untuk Peroleh Pengakuan Kemerdekaan RI dari Dunia Internasional

Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Prof. Muhammad Luthfi, M.A., Ph.D., dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Sastra sebagai Media Diplomasi dalam Upaya Memperoleh Pengakuan Kemerdekaan”, memaparkan peran penting politik sastra dalam diplomasi budaya. Menurut Prof. Luthfi, karya sastra dapat menjadi media diplomasi yang andal untuk mencapai tujuan tertentu, sebagaimana yang dilakukan sastrawan di Palestina dan Indonesia.

Tercatat dalam sejarah bahwa setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945, Indonesia belum mendapat pengakuan dari komunitas internasional. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mendapat pengakuan tersebut adalah dengan jalur diplomasi, baik berupa government to government maupun people to people. Dalam diplomasi government to government, Pemerintah Indonesia menggalang dukungan internasional dengan mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Haji Agus Salim untuk meyakinkan dunia internasional, khususnya negara-negara Arab, agar mengakui kemerdekaan Indonesia.

Sementara itu, dalam diplomasi people to people, Ali Ahmad Bakatsir –salah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Hadramaut– berperan penting dalam meyakinkan masyarakat Arab atas kemerdekaan Indonesia. Diplomasi melalui media sastra yang dilakukan Bakatsir membuat Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia yang disusul oleh negara-negara Arab lainnya.

Salah satu drama Bakatsir yang berjudul “Audatul Firdaus” yang dipentaskan di Kairo Mesir, menjadi karya pemantik pengakuan Mesir atas kemerdekaan Indonesia. Drama yang terdiri atas empat babak ini menceritakan perdebatan tokoh-tokoh pendukung Sutan Syahrir dan Soekarno menjelang kemerdekaan Indonesia.

Dalam cerita tersebut, digambarkan bahwa upaya yang dilakukan Syahrir dan Soekarno dalam meraih kemerdekaan bukanlah perbedaan yang prinsipil, melainkan taktik yang berbeda untuk meraih tujuan bersama, yaitu kemerdekaan Republik Indonesia.

“Salah satu poin penting dalam cerita drama ini adalah nama Soekarno sebagai presiden RI pertama ditambahkan kata Ahmad sehingga disebut dengan Ir. Ahmad Soekarno. Nama Ahmad Sukarno-lah yang kemudian menjadi populer di Mesir. Oleh karena itu, rakyat Mesir mengetahui bahwa Indonesia yang baru saja merdeka adalah negara muslim yang dipimpin oleh seorang muslim, sehingga perlu didukung kemerdekaannya oleh bangsa Mesir,” ujar Prof. Luthfi.

Menurut Prof. Luthfi, penggunaan sastra sebagai media untuk mengekspresikan ide sosial dan politik merupakan sesuatu yang lazim di dunia sastra, termasuk sastra Arab. Kesusastraan Arab berperan dalam revolusi kebudayaan pada masa pendudukan Napoleon Bonaparte di Mesir (1798–1801). Napoleon datang ke Mesir tidak hanya membawa pasukan tentara, tetapi juga 167 ilmuwan dan mesin cetak, lalu mendirikan lembaga ilmiah dengan nama Institute d’Egypte yang terbagi dalam beberapa bidang, termasuk ilmu sastra dan seni.

Lembaga tersebut mengelola penerbitan Le Decade Egyptienne yang menerbitkan majalah, surat kabar, dan buku termasuk karya sastra. Buku-buku yang diterbitkan tersebut selain membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, juga memperkenalkan ideologi baru yang berasal dari ide revolusi Perancis, yaitu liberty, equality, and fraternity (kebebasan, keadilan, dan persaudaraan). Ideologi baru tersebut menjadi pendorong kebangkitan kesusastraan Arab modern yang akhirnya memicu lahirnya  revolusi kebudayaan di Mesir dan dunia Arab pada umumnya.

Sastrawan Arab seperti Mahmoud Darwish, Nizar Qabbani, dan Fadwa Tuqan merupakan kalangan yang menjadikan karyanya sebagai media untuk memperjuangkan pengakuan terhadap kemerdekaan Palestina. Darwish menyampaikan ide perjuangan kemerdekaan Palestina melalui puisi, begitu pula Fadwa yang merupakan penyair wanita Palestina yang melahirkan puisi diplomasinya setelah peristiwa Nakba (penderitaan) dalam Perang Enam Hari pada 1967. Sementara itu, Qabbani merupakan diplomat Suriah yang berdinas sebagai Atase Kebudayaan di berbagai negara, namun akhirnya mengundurkan diri pada 1966 untuk menekuni dunia sastra.

Tema diplomasi budaya yang dipilih Prof. Luthfi dalam orasi ilmiah saat pengukuhan dirinya sebagai guru besar dari FIB UI ini sesuai dengan pengalamannya saat menjabat sebagai Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar RI di Riyadh, Saudi Arabia, pada 2009–2013. Kajian tentang sastra dan diplomasi budaya belum banyak dikembangkan, sehingga yang disampaikan oleh Prof. Luthfi berkontribusi besar terhadap perkembangan kajian kesusastraan, terutama kesusastraan Arab.

Berkat kajian ilmiahnya ini, Prof. Muhammad Luthfi, M.A., Ph.D., berhasil dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Susastra FIB UI, pada Sabtu (10/12). Prosesi pengukuhan guru besar ini dipimpin Sekretaris Dewan Guru Besar (DGB) UI, Prof. Dr. drg. Indang Trihandini, M.Kes., di Balai Sidang UI, Kampus Depok, dan disiarkan secara virtual melalui kanal Youtube UI Teve.

Acara pengukuhan tersebut dihadiri tamu undangan, yakni Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dr. Muhammad Hilmy; Wakil Gubernur Sumatera Barat, Dr. Ir. Audy Joinaldy, S.Pt., M.Sc., M.M., IPM., ASEAN.Eng.; Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Dr. Irjen. (Purn.) Benny Mamoto; Wakil Rektor President University Handa Abidin, S.H., LLM., Ph.D.; Guru Besar Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. Nurul Murtadho, M.Pd.; Dekan Fakultas Farmasi UHAMKA, Dr. apt. Hadi Sunaryo; Ketua Kelompok Riset Farmakologi dan Toksikologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) RI, Dr. Kurnia Agustini, M.Si., Apt.; Badan Standardisasi Nasional/Komite Akreditasi Nasional, apt. Neni Widyana, S.SI., M.S.E.; Duta Besar RI di Riyadh (2010–2014), Gatot Abdullah; Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UI (1994–2002), Drs. Apt. Umar Mansur, M.Sc.; dan Dekan FIB UI (2013–2021), Dr. Adrianus Laurens Gerung Waworuntu, M.A.


Prof. Luthfi menempuh pendidikan S1 di Fakultas Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Islam Madinah, Arab Saudi (1979–1982); S2 di Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Humaniora, Yarmouk University, Yordania (1983–1987); dan S3 di Fakultas Sastra dan Ilmu-Ilmu Humaniora, Jordan University, Yordania (1988–1992). Saat ini, Prof. Luthfi menjabat sebagai Kepala UI Halal Center (UIHC), setelah sebelumnya pada 2019–2020, menjabat sebagai Wakil Rektor UI Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset.

Beberapa karya ilmiah terbaru yang ditulis oleh Prof. Luthfi, antara lain Dinamika Sastra dan Budaya Arab Modern (2022); Palestine in the Perspective of Nizar Qabbani: The Critical Discourse Analysis in The Poems of Nizar Qabbani (2022); Challenges and Opportunities of Halal Food Industry Industry of Indonesia in Global Market (2022); Ruang Ketiga dan Konstruksi Identitas: Hibriditas dalam Karya Mahmoud Darwish (2021); dan Nationalism in the Season of Revolution–The Work of Syrian, Libyan, and Egyptian Poets (2020).

Penulis: Sasa

Related Posts