iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Guru Besar UI Lakukan Tinjauan Kritis Terhadap Instrumentalisasi Sejarah

Universitas Indonesia > Berita > Berita Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya > Guru Besar UI Lakukan Tinjauan Kritis Terhadap Instrumentalisasi Sejarah

Universitas Indonesia (UI) mengukuhkan Prof. Dr. R. Tuty Nur Mutia, S.S., M.Hum., sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), pagi tadi (Rabu, 13/12). Pada kesempatan tersebut, ia membacakan pidato pengukuhannya yang berjudul “Satu Dasawarsa Prakarsa Sabuk dan Jalan Tiongkok: Tinjauan Kritis terhadap Instrumentalisasi Sejarah” di Balai Sidang, Kampus UI Depok.

Dalam pidatonya ia menyampaikan, pada 2013 Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping telah memilih Kazakhstan dan Jakarta (Indonesia) sebagai tempat penyampaian idenya tentang revitalisasi jalur sutra melalui dua skema, yaitu ‘Sabuk Ekonomi Jalur Sutra’ dan ‘Jalur Sutra Maritim Abad ke-21’. Dalam sejarah, ‘jalur sutra’ adalah jalur perdagangan Tiongkok dengan berbagai kawasan dunia yang terbentuk pada era dinasti Han Barat. Sebelumnya, pada 2012-2013, Xi menegaskan visi dan misinya bahwa bangsa Tiongkok harus mampu mewujudkan ‘Impian Tiongkok’ yang telah menjadi impian seluruh rakyat sejak era kedinastian.  Salah satu impian itu diformulasikan sebagai kebangkitan kembali kejayaan bangsa Tiongkok pada 100 tahun berdirinya RRT, yaitu pada tahun 2049.

Berlandaskan narasi pidato-pidatonya, Prof. Tuty melihat bahwa Xi Jinping sejak awal kekuasaannya telah menggunakan jargon-jargon kekuatan dan kejayaan Tiongkok yang tercatat dalam sejarah sejak ribuan tahun lalu. Fenomena itu menyebabkan Xi dikenal sebagai pemimpin yang mendasarkan klaimnya atas kekuasaan dan legitimasi partainya pada sejarah Tiongkok. Dari Fenomena tersebut melandasi Prof. Tuty untuk melakukan penelusuran dan investigasi tentang sejauh mana Xi Jinping dan RRT memanfaatkan sejarah sebagai instrument untuk mengembalikan kejayaan dan kekuatan Tiongkok secara domestik maupun internasional melalui Belt and Road Initiative (BRI).

“Penggunaan sejarah sebagai instrumen, terkait erat dengan merekonstruksi komponen-komponen utama memori publik tentang trauma, kejayaan, dan amnesia yang saling berhubungan dan tumpang tindih, sehingga membentuk penemuan kembali sejarah yang dipilih. Instrumentalisasi sejarah bukanlah tindakan yang salah, namun perlu ‘kewaspadaan’ dalam menyikapi kemungkinan penyimpangan yang menyesatkan. Oleh karena itu, secara sistematis investigasi dan pembahasan yang diarahkan sebagai tinjauan kritis, dilakukan dalam kategori aspek glorifikasi, ideologi, dan identifikasi diri, yang terkandung dalam narasi pidato-pidato Xi yang berkaitan dengan BRI,” ujar Prof. Tuty.

Menurutnya, ilihan Xi Jinping terhadap memori tertentu yang berisi kejayaan dan harmoni serta menyisihkan fakta-fakta kegagalan Tiongkok di masa lalu sebagai amnesia sejarah, memperlihatkan teknik rekonstruksi Xi Jinping sebagai agensi-sejarawan dengan menggunakan pola narativisme/naratologi sejarah. Xi dalam sepuluh tahun terakhir merekonstruksi narasi baru berlandaskan pada fakta-fakta yang didukung oleh dokumen-dokumen sejarah bangsa Tiongkok, dan etika moral Konfusianisme sebagai kerangka code of conduct baru tata pergaulan internasional, di mana identitas bangsa Tiongkok bukan lagi ‘korban era penghinaan’, melainkan ‘bangsa besar’ yang siap membantu dalam mewujudkan ‘Komunitas Global Dengan Masa Depan Bersama’.

Lebih lanjut Prof. Tuty menyampaikan bahwa dalam satu dasawarsa impelementasi BRI, catatan capaian Xi Jinping sangat signifikan, di antaranya terbukti dari jumlah investasi RRT yang mencapai USD 1 triliun dan jumlah partisipan yang mencapai 152 negara dan 32 organisasi internasional. Namun, di sisi lain juga diikuti oleh sejumlah masalah yang cukup merisaukan, di antaranya adalah hilangnya mata pencaharian penduduk lokal, perampasan tanah, penggundulan hutan, dan terjadinya ketidakstabilan ekonomi di mana ada sejumlah negara yang utangnya kepada Tiongkok semakin besar sehingga jatuh ke dalam ‘jebakan utang’.

“Indonesia yang juga menjadi bagian dari BRI, hendaknya memahami dengan seksama latar belakang, tujuan, dan kemungkinan pemanfaatan lanjutan dari BRI, sehingga dapat lebih bijak ketika memutuskan proyek-proyek investasi Tiongkok dalam skema BRI. Indonesia juga harus siap menghadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi dan harus segera berbuat sesuatu untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan,” kata Prof. Tuty. Pada pengukuhannya tersebut, turut hadir Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Dr. Agung Laksono; Duta Besar Indonesia untuk Uzbekistan merangkap Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan 2010—2014 Mohamad Asruchin; dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Pusat Prof. Dr. Agus Mulyana, M.Hum.

Selain mengajar, Prof. Tuty juga aktif dalam kegiatan penelitian terkait sejarah Cina kontemporer dan sejarah diplomasi RRT yang saat ini terfokus pada kajian soft power Cina dan Strategic partnership Indonesia-Cina. Hasil-hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan, di antaranya berjudul Reassessing China’s Soft Power in Indonesia: A Critical Overview on China’s Cultural Soft Power (2023) dan Diaspora in Indonesia-China Relationship at The Comprehensive Strategic Partnership Era (2023). Prof. Tuty merupakan salah seorang pengajar FIB UI di Departemen Ilmu Sejarah dan Program Studi S1 Cina. Selain itu, ia juga mengajar di kelas pascasarjana, yaitu Program Studi S2 Asia Timur, Program S2 Ilmu Sejarah, dan Program S3 Ilmu Sejarah. Ia menamatkan pendidikan S1 Sastra Cina di UI pada tahun 1986. Kemudian, ia melanjutkan studinya di Program Pascasarjana Ilmu Sejarah FIB UI dengan lulus pendidikan S2 pada tahun 2000 dan lulus pendidikan S3 pada 2013.

Related Posts