iden sipp@ui.ac.id dan humas-ui@ui.ac.id +62 21 786 7222

Kolaborasi Pentahelix dalam Mitigasi Bencana Hidrometeorologi

Universitas Indonesia > Berita > Berita Highlight > Kolaborasi Pentahelix dalam Mitigasi Bencana Hidrometeorologi

Badan Nasional Penanggulangan Bencana(BNPB) mengungkapkan data bahwa pada tahun 2021, tercatat 3.018 bencana di Indonesia. Sebagian besar bencana tersebut di bidang hidrometeorologi. Ia merupakan bencana yang diakibatkan oleh adanya parameter meteorologi (curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin), sehingga diperlukan upaya mitigasi bencana untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana. Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan kuliah umum terkait kebencanaan itu, pada Rabu (16/02), dengan tema “Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana Hidrometerologi: Tantangan dan Peluang di Tahun 2022”.

“Kondisi iklim di Indonesia berada di kepulauan dan dilintasi garis khatulistiwa yang kompleks dan dinamis, berbeda dengan wilayah yang ada di daratan benua. Hal ini membuat faktor iklim dan cuaca yang berubah) di Indonesia cukup banyak, contohnya saat ini kita masyarakat di Indonesia sedang mengalami ‘La Nina’, yang dipengaruhi oleh suhu muka air laut. Kondisi semakin menghangatnya suhu muka air laut di Indonesia ini menyebabkan kondisi cuaca di Indonesia semakin kompleks,” ujar Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada kuliah umum tersebut.

Wakil Direktur SIL UI Dr. Dony Abdul Chalid, SE., M.M. menyampaikan bahwa kuliah umum ini setiap tahun diadakan untuk memberikan pemahaman lebih kepada mahasiswa mengenai studi penanggulangan bencana di Indonesia dengan menghadirkan pakar dari lembaga terkait. “Tujuan dari kuliah umum ini adalah memberikan perspektif kekinian atau hal-hal yang baru terkait dengan perkembangan di masyarakat sehingga nantinya mahasiswa tidak hanya dibekali oleh konsep, teori, dan tools (alat-alat) yang memadai, tetapi juga memahami konteks (permasalahan iklim, cuaca, dan lingkungan) yang terjadi saat ini,” kata Dony.

Menurut Prof. Dwikorita, dibutuhkan kolaborasi bersama dengan pihak lain dalam upaya mitigasi bencana di Indonesia. Peran penta helix –akademisi, pemerintah, masyarakat, pihak swasta, dan media– diperlukan dalam membangun kolaborasi dalam observasi dan pengamanan sarana-prasarana observasi, serta penyebarluasan informasi dan mitigasi bencana. BMKG sebagai lembaga yang khusus menangani hal ini (iklim dan cuaca di Indonesia), memberikan beberapa pelayanan dalam upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana, seperti sekolah lapangan cuaca dan iklim untuk nelayan dan jambore iklim bagi siswa sekolah.

Pada kesempatan yang sama, Deputi 1 Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dr. Raditya S.Si., M.Si, menyampaikan bahwa komunitas memiliki peran penting dalam kesiapsiagaan dan menghadapi bencana, terutama bencana hidrometeorologi di Indonesia.

“Tidak semua fenomena alam menjadi bencana (kerugian materiil, korban jiwa, kerusakan lingkungan). Sejak awal tahun 2022, sudah ada lebih dari 500 kejadian bencana yang tercatat di BNPB. Dari sini, perlu adanya pemahaman dari bukan hanya risiko bencana saja, tapi juga upaya yang dapat dilakukan dalam penanganan risiko bencana tersebut,” ujar Dr. Raditya.

Ia melanjutkan, menurut Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) (2015-2030), terdapat kerangka pengurangan bencana global berdasarkan 4 (empat) hal prioritas untuk dilakukan. “Pertama, pemahaman mengenai risiko bencana. Kedua, penguatan tata kelola risiko bencana untuk mengelola risiko bencana. Ketiga, berinvestasi dalam pendidikan risiko bencana untuk ketahanan. Terakhir, meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif,” ujar Dr. Raditya.

Indonesia dan Jepang memiliki kemiripan dalam segi geografis, salah satunya kondisi kerentanan bencana, seperti gempa bumi yang juga sering terjadi di Indonesia karena intensitas pergerakan lempeng tanah yang cenderung sering. Dalam upaya pencegahan bencana yang terjadi, Jepang memiliki sistem pendidikan sejak dini untuk menghadapi pengurangan risiko bencana.

Tim Peneliti Literasi Kebencanaan Kota Bukittinggi Mukhlis Arifin, S.Sos., M.Si., dalam penelitian tesisnya, membahas sistem manajemen risiko bencana di Jepang yang dapat diimplementasikan oleh masyarakat Indonesia dalam menghadapi bencana yang kemungkinan besar bisa terjadi di masa depan. “Penanggulangan bencana secara holistik merupakan salah satu kebijakan prioritas di Jepang. Salah satunya dengan pendidikan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana,” katanya.

“Selain adanya pendidikan, pendidikan juga harus menghasilkan. Anak-anak di jepang sudah diberikan pendidikan dasar dalam upaya penanganan bencana.  Jepang melakukan penelitian yang cukup serius mengenai aspek-aspek bencana dan bagaimana pengembangan upaya bencana di negara tersebut. Mereka juga memiliki sistem pencegahan bencana yang kuat, proyek konstruksi yang kuat dan diusahakan mampu bertahan ketika terjadi bencana, tindakan medis yang baik, dan sistem informasi dan komunikasi yang kuat,” ujar Arifin, yang berbicara pada acara yang diikuti sivitas akademika UI, Dinas Pemerintah, BMKG, BNPB, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), juga universitas dari dalam dan luar negeri.

SIL UI resmi dibentuk pada tanggal 1 Juli 2016 berdasarkan Keputusan Rektor UI No.1092/SK/R/UI/2016 tentang Pembukaan Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Sekolah Ilmu Lingkungan menjadi sekolah pertama yang berdiri di Universitas Indonesia dan menjadi sekolah pertama yang fokus pada pendekatan multidisiplin Ilmu Lingkungan di Indonesia. SIL UI mempunyai tiga program studi yaitu Program Studi Magister Ilmu Lingkungan (S2), Program Studi Magister Manajemen Bencana (S2), dan Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan (S3). Kampus SIL UI berada di Salemba, Jakarta Pusat.

 

Penulis: Vinny Shoffa | Editor: Maudisha AR

Selengkapnya:

Related Posts